Mengenal Metode Dakwah; Metode Mujadalah al-Lati Hiya Ahsan

| 0 komentar
Juru Dakwah
3. Metode Mujadalah al-Lati Hiya Ahsan dan Modelnya

Secara etimologi kata mujadalah berarti munaqasyah dan khashamah (diskusi dan perlawanan), atau metode dalam berdiskusi dengan mempergunakan logika yang rasional dengan argumentasi yang berbeda. Jâdala (dengan memanjangkan huruf "ja") artinya berbantah-bantah, berdebat, bermusuh-musuhan, bertengkar. Kalau  dibaca  jadala  (tanpa memanjangkan huruf "ja") artinya memintal, memilin, atau dapat juga dikatakan berhadapan dalil dengan dalil. Sedangkan mujadalah diartikan dengan berbantah-bantahan dan memperundingkan, atau perundingan yang ditempuh melalui perdebatan dan pertandingan, atau penyimpangan dalam berdiskusi dan  kemampuan  mempertahankannya.

Sedangkan menurut istilah, terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama antara lain; Ibnu Sina (980-1037M) sebagai dikutip oleh Zâhiri ibn ‘Iwâd al-Alama’î, berpendapat bahwa makna jidal ialah bertukar fikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan bicara. Sedangkan menurut al-Jurjani, jidal adalah mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan bicara dari pendirian yang dipeganginya. Sedangkan Abi al-Biqai dalam Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni, jidal dimaknai dengan ungkapan dalam penolakan kepada seseorang dengan cara membantahnya karena rusaknya perkataan dengan suatu hujjah.

Memperhatikan pengertian di atas, maka ditemukan dua bentuk jidal, yaitu jidal yang terpuji dan yang tercela. Adapun jidal yang terpuji bertujuan untuk menegakan dan membela kebenaran, dilakukan dengan ushlub yang benar dan relevan dengan masalah yang dijadikan pokok bahasan. Sedangkan jidal yang membawa kepada kebatilan, maka jidal seperti itu adalah tercela. Terkait adanya jidal yang tercela, maka  al-Qur’an  mengatur  jidal tersebut dengan  cara yang  lebih baik, sejalan dengan pendekatan dakwah yang ditetapkan oleh nash, karena cara ini merupakan pendekatan metode akal yang paling konkrit dan diekspresikan dalam bentuk diskusi, perbandingan, percakapan dan  istilah lain yang  menunjukan  kepada makna  tersebut  berdasarkan  tempatnya.

Sedangkan dalam memahami kata mujadalah dalam surat al-Nahl 125 adalah dengan arti berbantah-bantahan, sebab jika diambil arti bermusuh-musuhan, bertengkar, memintal dan memilin, tampaknya tidak memenuhi apa yang dimaksud oleh ayat tersebut secara keseluruhan. Agaknya bila diambil dari kata mujadalah tesebut, secara lugas, untuk memahami dakwah, maka pengertiannya akan menjadi negatif, akan tetapi setelah dirangkai dengan kata hasanah (baik), maka artinya menjadi positif. Dalam hal ini Muhammad Khair Ramadhan Yusuf mengemukakan bahwa  mujadalah al-lati hiya ahsan ialah: "ungkapan dari suatu perdebatan antara dua sudut pandangan yang bertentangan untuk menyampaikan kepada kebenaran yang kebenaran tersebut bertujuan membawa kepada jalan Allah Swt."

Akar kata (j, d, l) dalam al-Qur’an ditemukan sebanyak 29 kali dalam berbagai bentuk dan tersebar dalam 15 surat, yaitu surat Makkiyah sebanyak  10 surat dan Madaniyah 5 surat.  Jidal yang berkaitan dengan bahasan ini ternyata didapati 10 kali berada pada surat Makkiyah dan 5 kali pada surat Madaniyah. Indikasi ini menunjukan bahwa metode dakwah mujadalah lebih banyak digunakan di kalangan masyarakat Makkah. Hal ini sesuai dengan situasi dan kondisi Makkah saat itu, dimana masyarakatnya sangat radikal dengan persoalan akidah (kemahaesaan Allah), meliputi tentang keesaan Allah SWT., penetapan kerasulan, hari kebangkitan dan pembalasan, hari akhirat dengan segala keadaannya, neraka dengan segala siksaan azabnya, surga dengan segala nikmatnya dan bantahan orang-orang kafir dengan dalil akal dan melalui tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat pada alam. Selain persoalan akidah, juga meletakan dasar-dasar syari’at secara umum, budi pekerti yang mulia sebagai dasar pembinaan masyarakat, kebiasaan-kebiasaan yang jelek dari orang orang musyrik, seperti pertumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, membunuh anak dan lain sebagainya. Sedangkan pada surat Madaniyah ayat-ayatnya lebih banyak mempersoalkan aspek ibadah, mu’amalah, hukum, aturan keluarga, warisan, keutamaan jihad, shalat jama’ah, masalah politik dan perang, damai serta persoalan kemasyarakatan. 

Memperhatikan kondisi sosial masyarakat di atas sejalan dengan tingkat perkembangan dan kemajuan manusia, maka ada dua bentuk mujadalah, yaitu mujadalah al-su’i dan mujadalah ahsan. Mujadalah ahsan agaknya dapat diterjemahkan dengan berdiskusi dengan baik untuk menemukan kebenaran, melalui tukar fikiran, atau dalam bahasa komunikasi disebut dengan komunikasi dua arah (two way comunication) yaitu terjadi dua komunikasi antara komunikator dengan komunikan.

Para mufassir dalam memahami surat al-Nahl 125 mempunyai pendapat yang sama, walaupun dalam redaksi yang berbeda, yaitu bantahan yang membawa kepada petunjuk dan kebenaran. Artinya melakukan dakwah dengan debat terbuka (transparan), sehingga sanggahan atas tanggapan para audiens dapat diterimanya dengan senang hati, tanpa menimbulkan kesan yang tidak baik terhadap juru dakwah. Bila terdapat tanggapan balik, maka jawabannya harus dengan argumentasi yang logis dan jelas, sehingga antara kedua belah pihak yang sedang bermujadalah sampai pada suatu kebenaran, tanpa menimbulkan kebencian dan permusuhan. Kalimat jadilhum bi al-lati hiya ahsan dapat diartikan dengan bertukar fikiran dengan baik, ilmiah, rasional, dan objektif.

Setelah memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an, maka mujadalah yang dimaksud al-Qur’an didasari kepada burhan (argumentasi yang valid), dalil yang kompleks dan dapat memberikan petunjuk terhadap orang kafir serta dapat membawanya  kembali kepada semua maqasyid al-syar’iyah dan furu’nya. Dengan demikian aspek mujadalah yang tercakup dalam al-Qur’an tersebut meliputi tiga bentuk, yaitu :
  1. Mujadalah yang dapat membawa tukar fikiran dengan menggunakan argumentasi yang valid untuk dapat menetapkan keyakinan, hukum agama didasari kepada wahyu dengan komunikasi yang benar dan menghindari terjadinya  miskomunikasi.
  2. Mujadalah dengan pendekatan hiwar (muhawarah), yaitu mendiskusikan persoalan tersebut dengan cara yang baik melalui diskusi dan pembahasan  yang yang tuntas, sehingga way outnya tegas dan jelas, sebagaimana  isyarat surat al-Mujadalah.
  3. Mujadalah yang muncul dari tipologi orang kafir,  dimana mereka berdiskusi dengan cara tidak benar untuk mengalahkan kebenaran, seperti isyarat Allah  pada surat Ghafir (al-Mukmin).

Metode mujadalah ini pada prinsipnya ditujukan kepada objek dakwah yang mempunyai tipologi antara menerima dan menolak materi dakwah (Islam) yang disampaikan kepada mereka. Pada objek ini mujadalah memainkan peranannya, sehingga objek dakwah dapat menerima dengan perasaan mantap dan puas. Metode ini memberi isyarat kepada juru dakwah untuk menambah wawasan dalam segala aspek, sehingga pada akhirnya dapat memberikan jawaban atau bantahan kepada objek dakwah secara benar dan baik serta menyenangkan perasaan.

Debat sebagai metode dakwah pada dasarnya mencari kebenaran dan kehebatan Islam. Kecuali itu, berdebat efektif dilakukan hanya kepada orang-orang yang membantah akan kebenaran Islam. Sedangkan objek dakwah yang masih  kurang percaya atau kurang mantap terhadap kebenaran Islam (tidak membantah) belum diperlukan metode debat sebagai metode dakwah. Berbeda dengan sesama ulama (intelektual) berdebat adalah rahmat. Sedangkan di kalangan masyarakat awam, berdebat hanya akan menimbulkan pertengkaran dan permusuhan.

Model metode mujadalah al-lati hiya ahsan ini meliputi dua bagian, yaitu;

1. Al-Asilah wa al-Ajwibah (tanya jawab).

Bentuk al-asilah ajwibah yang dimaksud di sini adalah suatu bentuk metode dakwah Mujadalah bi al-lati Hiya Ahsan yang digunakan dalam bentuk memberi jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan oleh umat Islam yang belum atau mereka dapati, atau belum mereka ketahui secara pasti hakikat atau penjelasannya. Dengan  kata lain metode ini berbentuk  tanya  jawab, saling tukar pikiran antara sasaran dakwah dan pelaksana dakwah.

Metode ini dilakukan dengan cara seseorang atau kelompok yang pandai berhadapan langsung dengan orang pandai lainnya. Bentuk metode ini menyatakan hal-hal yang belum diketahui sebelumnya oleh lawan pembicaraannya kepada orang yang dianggap mengetahui dan sekaligus bisa memberikan jawaban-jawaban memuaskan hatinya, sedangkan diskusi berbentuk tukar pikiran antara objek dakwah dengan subjek dakwah yang keduanya sudah sama-sama mengetahui materi yang didiskusikan.

Bentuk metode ini muncul pada masa Rasulullah, di mana para shahabat banyak yang bertanya kepada Nabi tentang berbagai masalah yang mereka hadapi, dengan harapan para shabahat dapat menerima jawaban dari Nabi. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari kalangan shahabat itu adalah pertanyaan yang benar-benar mereka tidak mengetahui sama sekali, baik dalam hukum, maupun pelaksanaannya. Masalah yang muncul itu dijawab dan diselesaikan oleh al-Qur’an secara transparan kepada Nabi Saw. Jawaban itu adakalanya dijawab dengan wahyu dan adakalanya dengan hadis, ataupun jawaban itu dijawab melalui  sikap dan tindak  tanduk nabi  sendiri.

2. Al-hiwar (dialog).

Kata Hiwâr berasal dari bahasa Arab dari akar kata (h, w, r, yuhawiru, muhawaratan) yang berarti perdebatan yang memerlukan jawaban, atau tanya jawab terkait satu objek tertentu yang mendekati kepada munaqasah dan mubahastah terhadap suatu persoalan dan peristiwa yang terjadi. Selanjutnya Muhammad Khair mengemukakan bahwa hiwar adalah seni atau metode dari beberapa metode moderen dengan mempergunakan pikiran atau beberapa objek dalam upaya menyampaikan kepada suatu kesimpulan.

Di dalam al-Qur’an persoalan-persoalan yang muncul pada Nabi adalah tanya jawab yang terjadi di kalangan umat, sekaligus ada solusi dari Allah SWT., sehingga para penanya lansung menerima keputusan atau jawaban pada saat terjadinya suatu persoalan waktu itu.

Memperhatikan ketiga metode yang dikemukakan di atas, (hikmah, maw’izhah al-hasanah dan mujadalah al-lati hiya ahsan) nampaknya hampir semua buku-buku dakwah menyorotinya pada dataran konsep atau sebagai doktrin normatif yang berasal dari al-Qur’an. Hal ini paling tidak terlihat pada metode hikmah dan mauizhah al-hasanah. Misalnya hikmah adalah suatu metode dalam menyampaikan dakwah lewat ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. 

Pada umumnya penulis ilmu dakwah lainnya hanya melihat sisi doktrin normatif saja pada ayat-ayat al-Qur’an, sehingga terlihat dengan jelas pembicaraan seputar dataran konsep, padahal sebuah metode selain berbicara teori sekaligus sebenarnya metode itu sesuatu yang bersifat aplikatif. Artinya sesuatu yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan dakwah. Begitu juga tentang metode mauizhah seolah-olah hanya juga pada tataran konsep dan normatif. Sebenarnya kedua metode di atas di satu sisi adalah dogmatis, sedangkan di sisi lain keduanya aplikatif, dan pernah diterapkan (direalisasikan) oleh Nabi Muhammad SAW melalui petunjuk al-Qur’an kepadanya, sebab tidak sesuatupun yang dilakukan oleh Nabi, melainkan berdasarkan pertunjuk Allah. Jika memang ada pendapat yang mengatakan bahwa kedua metode di atas hanya pada tataran konsep, agaknya ada benarnya, karena mereka hanya melihatnya sebagai materi dakwah, bukan sebagai metode dakwah. 

Demikian juga halnya dengan metode mujadalah al-lati hiya ahsan, tidak hanya berbicara sebatas konsep, namun al-Qur’an telah mengaplikasikannya melalui petunjuk al-Qur’an dalam melaksanakan dakwah Islam. Mujadalah hasanah itu dipahami dengan bertukar fikiran atau berdiskusi dengan baik, maka mujadalah telah bersifat aplikatif (diterapkan) sebagaimana dua metode sebelumnya (hikmah dan maw’izhah al- hasnah) dan telah dipraktekan oleh nabi Muhammad SAW dalam mengembangkan ajaran Islam kepada umat manusia. Kedua metode tersebut (hikmah dan maw’izhah  al-hasanah), dapat dibedakan. Metode hikmah lebih menekankan kepada kemampuan  fikiran dan ketajaman rasionalitas (intelektualitas) penerima dakwah, sedangkan metode mau’izah menekankan kepada ketepatan pesan yang disampaikan. Akan tetapi berbeda halnya dengan metode ketiga, mujadalat hasanah, seandainya mujadalah hasanah itu dipahami dengan bertukar pikiran atau berdiskusi dengan baik, maka ia memang sudah bersifat aplikatif dan bisa diterapkan. Nurcholish Madjid, dalam salah satu tulisannya dalam Tabloid Tekad dengan mengutip pendapat Ibn Rusyd, mengemukakan bahwa dakwah dengan hikmah artinya dakwah dengan pendekatan substansi yang mengarah kepada falsafah, dengan nasehat yang baik, yang berarti retorika efektif dan populer, dan dengan mujadalah yang lebih baik, maksudnya metode dialektis yang unggul. Indikasi ini menunjukan bahwa metode dakwah berserta modelnya pada surat al-Nahl 125, telah diaplikasikan oleh Rasulullah dalam mengajak manusia kepada Islam dalam berbagai bentuk. Model dari masing-masing metode itu merupakan bagian yang tak terpisahkan satu sama lainnya.

Demikian semoga bermamfaat.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...