Tampilkan postingan dengan label Ilmu Dakwah. Tampilkan semua postingan

Media Dakwah Dalam Perspektif Al-Quran Dan Hadits

Manajemen Dakwah
Written By: Mega Sufriana, MA

A. Pendahuluan

Tujuan dakwah sebagai komunikasi adalah memberi informasi tentang agama Islam, tujuan ini bukanlah tujuan final. Perkembangan antara tabligh dan dakwah tidaklah berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW. Tabligh dan dakwah itu terus berlangsung selama masih berdiri langit dan bumi, untuk menyampaikan informasi mengenai agama Islam, agar semua orang memperoleh pengetahuan tentang agama Islam dan mengerti tentang Islam.

Sebagai bukti mengerti tidaknya umat ini dengan Islam adalah akan terlihat mereka melakukan kebaikan dan meninggalkan perbuatan tercela. Tidak hanya sebatas itu, akan tetapi kebaikan itu juga akan berimbas kepada keluarga dan masyarakat. Adapun tujuan final dari dakwah tersebut untuk mencapai keselamatan dan kesentosaan manusia di dunia ini dan di akhirat nanti.

Media dakwah adalah salah satu komponen dakwah yang perlu dikembangkan untuk mencapai tujuan tersebut. Atas dasar itulah, saya berusaha mengemukakan pembahasan media dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits.

B. Pembahasan

1. Pengertian Media

Kata media berasal dari bahasa latin, median yang merupakan bentuk jamak dari medium. Secara etimologi berarti alat perantara. Menurut Wilbur Schram mendefenisikan media sebagai teknologi informasi yang dapat digunakan dalam pengajaran. Secara khusus yang dimaksud dengan media dakwah adalah alat-alat fisik yang menjelaskan isi pesan atau pengajaran, seperti buku, film, video, kaset, slide dan sebagainya.

Menurut Hamzah Ya’cub, media dakwah adalah alat objektif yang menjadi saluran, yang menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam totalitet dakwah. Sementara itu, Wardi Bachtiar dalam Samsul Munir Amin menjelaskan bahwa media dakwah merupakan perantara yang digunakan untuk menyampaikan materi dakwah kepada penerima materi dakwah. Media yang dimaksud bisa jadi televisi, video, kaset, rekaman, majalah, dan surat kabar.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa media dakwah adalah sarana atau alat untuk mempercepat ide-ide dakwah agar dapat dipahami dan diterima oleh mad’u. Oleh karena itu, media dakwah perlu menjadi perhatian para pelaksana dakwah. Kepiawaian juru dakwah dalam memilih media dakwah yang tepat akan mempermudah penyampaian dakwah.

2. Bentuk-Bentuk Media Dakwah

Ditinjau secara tekstual/eksplisit, memang tidak ditemukan ayat atau hadits yang membicarakan tentang media atau alat apa saja yang dapat digunakan untuk menyampaikan dakwah, tetapi secara kontekstual/implisit banyak isyarat al-Qur’an tentang masalah media ini. Hamzah Ya’cub mengelompokkan media dakwah kepada lima macam yaitu sebagai berikut:

a. Lisan

Di antara media lisan adalah khutbah, nasehat, pidato, ceramah, kuliah, diskusi, seminar, musyawarah dan lain-lain. Dalam al-Qur’an ditemui isyarat tentang media lisan ini, antara lain Dalam Q.S. al-A’raf ayat 158.

Artinya: Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk."

Dalam surat Yusuf ayat 4:

Artinya: (Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."


Dan dalam surat Al-Baqarah ayat 104

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.


Dalam beberapa ayat tersebut dinyatakan bahwa para Nabi telah menyampaikan dakwahnya pertama kali dengan menggunakan media lisan secara langsung. Termasuk dalam kelompok ini khutbah, ceramah, nasehat, pidato, dan sebagainya, yang kesemuanya dilakukan dengan lidah atau suara.

Menurut Abdul Karim Zaidan dalam Salmadanis, media lisan atau bahasa adalah media pokok dalam menyampaikan dakwah Islam kepada orang lain. Di antara media lisan tersebut adalah khutbah, nasehat, pidato, ceramah, kuliah diskusi, seminar, musyawarah dan lain sebagainya.

b. Tulisan

Dakwah dengan cara tulisan adalah dakwah yang dilakukan dengan perantara tulisan, seperti buku-buku, majalah, surat kabar, buletin, risalah, kuliah-kuliah tertulis, pamflet, pengumuman tertulis, spanduk dan lain-lain. Secara langsung memang tidak ditemui dalam Al Quran anjuran menggunakan media tulisan sebagai alat dakwah, tetapi secara tersirat dapat dipahami dari satu surat yangterdapat dalam al-Quran, yaitu surat Al Qalam. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa Allah SWT bersumpah dengan huruf nun, sebagai isyarat terpenting tentang peran huruf, pena dan tulisan dalam pelaksaan dakwah islamiyah. Hal ini dapat lebih dipahami dengan menelaah surat Al Qalam ayat 1.

Artinya: Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis, dan juga dapat lebih diperkuat dengan memahami surat Al Alaq: 1-5. Rasulullah telah memberi contoh dengan memerintahkan menulis surat yang ditunjukkan kepada kepala-kepala negara yang bukan Islam untuk menyeru mereka agar menerima Islam, seperti surat Beliau kepada Kisra di Persia, Hercules di Bizantium, Mauqaqis di Mesir dan Negus di Ethiopia. Surat Rasulullah itu antara lain berbunyi, “Saya mengajak tuan memperkenankan panggilan Allah, peluklah Islam supaya tuan selamat”. 

Ini menunjukkan bahwa dakwah Rasulullah selain dilaksanakan dengan metode lisan juga dengan tulisan (surat).

c. Lukisan

Metode seperti ini berupa gambar-gambar hasil seni lukis, foto, film, cerita dan sebagainya. Media ini memang banyak menarik perhatian orang dan banyak dipakai untuk menggambarkan suatu maksud ajaran yang ingin disampaikan kepada orang lain, namun sulit ditemukan isyaratnya dalam al quran.

d. Audio visual

Metode Audio Visual adalah suatu cara penyampaian yang sekaligus merangsang penglihatan dan pendengaran. Bentuk ini dilaksanakan dalam media televisi dan jenis media lainya. Sama juga halnya dengan media nomor 3, tidak begitu jelas diungkapkan dalam Al-Qur’an, barangkali karena Audio visual ini tidak ditemukan di masa Nabi, dengan kata lain media ini adanya pada zaman modern seperti sekarang ini.

Menurut penulis, dakwah yang disampaikan melalui media televisi sangatlah efektif dan mudah untuk masyarakat. Penulis berpendapat bahwa dakwah yang disampaikan lewat televisi jangkauannya sangat luas dan tidak terbatas, pada saat ini bisa dikatakan seluruh masyarakat memiliki media ini, jadi dengan mudah mereka bisa menyaksikan dakwah yang disampaikan seseorang da'i tanpa harus pergi ke tempat dimana da’i tersebut sedang berdakwah. Misalnya dakwah yang disampaikan oleh Bapak Quraish Shihab, K.H. Zainuddin Mz, dan lain-lain.

Alasan lain penulis berpendapat bahwa media televisi sangat efektif sebagai media dakwah adalah karena praktis, semua orang bisa menikmatinya, lain halnya dengan media dakwah melalui media cetak yang dominan menikmatinya hanya golongan pelajar, orang-orang muda, bagi orang yang lanjut usia maka agak sulit untuk menikmatinya secara optimal, ditambah lagi semangat membaca masyarakat sangat kurang.

e. Akhlak

Akhlak di sini ialah perilaku yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari dapat dijadikan media dakwah dan sebagai alat untuk mencegah orang dari berbuat kemungkaran, atau juga yang mendorong orang lain berbuat ma’ruf, seperti membangun masjid, sekolah atau suatu perbuatan yang menunjang terlaksananya syari’at Islam di tengah-tengah masyarakat.

Dalam Al Quran masalah ini banyak disinggung antara lain dalam surat Al-A’raf ayat 199 yaitu sebagai berikut:

Artinya: Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Kemudian dalam Surat Luqman ayat 17 yaitu sebagai berikut:

Artinya: Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

Selanjutnya dalam Surat Al-Ahqaf ayat 35 :


Artinya: Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.


Dalam Surat Hud ayat 88

Artinya: Syu'aib berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rezki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.


Dan Surat Al-Shaf ayat 2-3

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

Ayat-ayat di atas mencerminkan akhlak yang mesti dimiliki oleh seseorang juru dakwah dalam upaya meyakinkan orang lain kepada ajaran Islam. Mayoritas penganut Islam mempunyai kecendrungan melihat kepada sosok figur. Bila figurnya tidak mempunyai moral, para audiens akan meninggalkannya. Pada sisi lain, media dakwah yang proposional dalam fenomena masyarakat adalah terletak pada sikap dan prilaku para da’i. Figur Muhammad SAW bukan hanya terletak pada keahliannya, akan tetapi akhlaknya yang dapat dijadikan panutan, ikutan bagi umatnya.

f. Budaya

Di samping hal di atas budaya juga dapat dijadikan sebagai media dakwah. Misalnya Aceh dengan kebudayaan atau seninya. Dimana kita ketahui Aceh dengan kesenian tari seribu tangan yang dimilikinya. Karena menurut sejarah orang Aceh, pada zaman dahulu, tari zaman digunakan untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam kepada masyarakat. Begitu juga dengan Minangkabau dengan budaya yang dimilikinya, semuanya bisa dijadikan media untuk berdakwah, salah satunya rabab, bila kita perhatikan bahwa dalam lantunan rabab selain berkisah tentang adat istiadat minangkabau yang harus diikuti, juga terselip nasehat-nasehat agama yang harus kita amalkan.

C. Kesimpulan

Secara tekstual di dalam Al Quran dan hadits memang tidak ditemukan ayat atau hadits yang membicarakan media dakwah, namun demikian, media dakwah tetap menjadi salah satu komponen penting untuk mencapai tujuan dakwah.

Secara filosofi, media dakwah tidak dapat dipisahkan dengan pribadi juru dakwah dan komponen lainnya. Apabila salah satu tidak mendukung, maka proses dakwah tidak akan diproses dan dipahami dari penyelenggaraan dakwah. Kepiawaian juru dakwah dalam memilih media yang tepat akan mendukung proses dakwah terlaksana dengan baik. Secara umum ada beberapa media dakwah yang terinspirasi dari Al Quran dan hadits, di antaranya:

1. Lisan seperti melalui ceramah, khutbah dan lain sebagainya.
2. Tulisan, seperti melalui buku,artikel, karya ilmiah, surat, surat kabar, majalah, dan lain-lain,
3. Lukisan, seperti seni lukis, foto dan lain sebagainya,
4. Audio visual, seperti melalui radio, telivisi, internet, musik dan lain-lain,
5. Akhlak, dan
6. Seni atau budaya

Dari model-model media ini, bila dimanfaatkan secara maksimal oleh seorang da’i, maka isya Allah pelaksana dakwah akan lebih mudah diterima masyarakat atau objek dakwah, tentunya dengan kecermatan da’i dalam menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi. WALLAHU A’LAM BISH SHAWAB


DAFTAR PUSTAKA

Hamzah Ya’cub, Publisistik Islam Teknik Dan Leadership, Bandung: Diponegoro, 1986

Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009

Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2003, cet. Ke-2, Metode Dakwah Perspektif Al-Qur’an, Padang: Hayfa Press, 2010

Muhammad Sulton, Desain Ilmu Dakwah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Walisongo Press, 2003

Mengenal Metode Dakwah; Metode Mujadalah al-Lati Hiya Ahsan

Juru Dakwah
3. Metode Mujadalah al-Lati Hiya Ahsan dan Modelnya

Secara etimologi kata mujadalah berarti munaqasyah dan khashamah (diskusi dan perlawanan), atau metode dalam berdiskusi dengan mempergunakan logika yang rasional dengan argumentasi yang berbeda. Jâdala (dengan memanjangkan huruf "ja") artinya berbantah-bantah, berdebat, bermusuh-musuhan, bertengkar. Kalau  dibaca  jadala  (tanpa memanjangkan huruf "ja") artinya memintal, memilin, atau dapat juga dikatakan berhadapan dalil dengan dalil. Sedangkan mujadalah diartikan dengan berbantah-bantahan dan memperundingkan, atau perundingan yang ditempuh melalui perdebatan dan pertandingan, atau penyimpangan dalam berdiskusi dan  kemampuan  mempertahankannya.

Sedangkan menurut istilah, terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama antara lain; Ibnu Sina (980-1037M) sebagai dikutip oleh Zâhiri ibn ‘Iwâd al-Alama’î, berpendapat bahwa makna jidal ialah bertukar fikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan bicara. Sedangkan menurut al-Jurjani, jidal adalah mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan bicara dari pendirian yang dipeganginya. Sedangkan Abi al-Biqai dalam Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni, jidal dimaknai dengan ungkapan dalam penolakan kepada seseorang dengan cara membantahnya karena rusaknya perkataan dengan suatu hujjah.

Memperhatikan pengertian di atas, maka ditemukan dua bentuk jidal, yaitu jidal yang terpuji dan yang tercela. Adapun jidal yang terpuji bertujuan untuk menegakan dan membela kebenaran, dilakukan dengan ushlub yang benar dan relevan dengan masalah yang dijadikan pokok bahasan. Sedangkan jidal yang membawa kepada kebatilan, maka jidal seperti itu adalah tercela. Terkait adanya jidal yang tercela, maka  al-Qur’an  mengatur  jidal tersebut dengan  cara yang  lebih baik, sejalan dengan pendekatan dakwah yang ditetapkan oleh nash, karena cara ini merupakan pendekatan metode akal yang paling konkrit dan diekspresikan dalam bentuk diskusi, perbandingan, percakapan dan  istilah lain yang  menunjukan  kepada makna  tersebut  berdasarkan  tempatnya.

Sedangkan dalam memahami kata mujadalah dalam surat al-Nahl 125 adalah dengan arti berbantah-bantahan, sebab jika diambil arti bermusuh-musuhan, bertengkar, memintal dan memilin, tampaknya tidak memenuhi apa yang dimaksud oleh ayat tersebut secara keseluruhan. Agaknya bila diambil dari kata mujadalah tesebut, secara lugas, untuk memahami dakwah, maka pengertiannya akan menjadi negatif, akan tetapi setelah dirangkai dengan kata hasanah (baik), maka artinya menjadi positif. Dalam hal ini Muhammad Khair Ramadhan Yusuf mengemukakan bahwa  mujadalah al-lati hiya ahsan ialah: "ungkapan dari suatu perdebatan antara dua sudut pandangan yang bertentangan untuk menyampaikan kepada kebenaran yang kebenaran tersebut bertujuan membawa kepada jalan Allah Swt."

Akar kata (j, d, l) dalam al-Qur’an ditemukan sebanyak 29 kali dalam berbagai bentuk dan tersebar dalam 15 surat, yaitu surat Makkiyah sebanyak  10 surat dan Madaniyah 5 surat.  Jidal yang berkaitan dengan bahasan ini ternyata didapati 10 kali berada pada surat Makkiyah dan 5 kali pada surat Madaniyah. Indikasi ini menunjukan bahwa metode dakwah mujadalah lebih banyak digunakan di kalangan masyarakat Makkah. Hal ini sesuai dengan situasi dan kondisi Makkah saat itu, dimana masyarakatnya sangat radikal dengan persoalan akidah (kemahaesaan Allah), meliputi tentang keesaan Allah SWT., penetapan kerasulan, hari kebangkitan dan pembalasan, hari akhirat dengan segala keadaannya, neraka dengan segala siksaan azabnya, surga dengan segala nikmatnya dan bantahan orang-orang kafir dengan dalil akal dan melalui tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat pada alam. Selain persoalan akidah, juga meletakan dasar-dasar syari’at secara umum, budi pekerti yang mulia sebagai dasar pembinaan masyarakat, kebiasaan-kebiasaan yang jelek dari orang orang musyrik, seperti pertumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, membunuh anak dan lain sebagainya. Sedangkan pada surat Madaniyah ayat-ayatnya lebih banyak mempersoalkan aspek ibadah, mu’amalah, hukum, aturan keluarga, warisan, keutamaan jihad, shalat jama’ah, masalah politik dan perang, damai serta persoalan kemasyarakatan. 

Memperhatikan kondisi sosial masyarakat di atas sejalan dengan tingkat perkembangan dan kemajuan manusia, maka ada dua bentuk mujadalah, yaitu mujadalah al-su’i dan mujadalah ahsan. Mujadalah ahsan agaknya dapat diterjemahkan dengan berdiskusi dengan baik untuk menemukan kebenaran, melalui tukar fikiran, atau dalam bahasa komunikasi disebut dengan komunikasi dua arah (two way comunication) yaitu terjadi dua komunikasi antara komunikator dengan komunikan.

Para mufassir dalam memahami surat al-Nahl 125 mempunyai pendapat yang sama, walaupun dalam redaksi yang berbeda, yaitu bantahan yang membawa kepada petunjuk dan kebenaran. Artinya melakukan dakwah dengan debat terbuka (transparan), sehingga sanggahan atas tanggapan para audiens dapat diterimanya dengan senang hati, tanpa menimbulkan kesan yang tidak baik terhadap juru dakwah. Bila terdapat tanggapan balik, maka jawabannya harus dengan argumentasi yang logis dan jelas, sehingga antara kedua belah pihak yang sedang bermujadalah sampai pada suatu kebenaran, tanpa menimbulkan kebencian dan permusuhan. Kalimat jadilhum bi al-lati hiya ahsan dapat diartikan dengan bertukar fikiran dengan baik, ilmiah, rasional, dan objektif.

Setelah memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an, maka mujadalah yang dimaksud al-Qur’an didasari kepada burhan (argumentasi yang valid), dalil yang kompleks dan dapat memberikan petunjuk terhadap orang kafir serta dapat membawanya  kembali kepada semua maqasyid al-syar’iyah dan furu’nya. Dengan demikian aspek mujadalah yang tercakup dalam al-Qur’an tersebut meliputi tiga bentuk, yaitu :
  1. Mujadalah yang dapat membawa tukar fikiran dengan menggunakan argumentasi yang valid untuk dapat menetapkan keyakinan, hukum agama didasari kepada wahyu dengan komunikasi yang benar dan menghindari terjadinya  miskomunikasi.
  2. Mujadalah dengan pendekatan hiwar (muhawarah), yaitu mendiskusikan persoalan tersebut dengan cara yang baik melalui diskusi dan pembahasan  yang yang tuntas, sehingga way outnya tegas dan jelas, sebagaimana  isyarat surat al-Mujadalah.
  3. Mujadalah yang muncul dari tipologi orang kafir,  dimana mereka berdiskusi dengan cara tidak benar untuk mengalahkan kebenaran, seperti isyarat Allah  pada surat Ghafir (al-Mukmin).

Metode mujadalah ini pada prinsipnya ditujukan kepada objek dakwah yang mempunyai tipologi antara menerima dan menolak materi dakwah (Islam) yang disampaikan kepada mereka. Pada objek ini mujadalah memainkan peranannya, sehingga objek dakwah dapat menerima dengan perasaan mantap dan puas. Metode ini memberi isyarat kepada juru dakwah untuk menambah wawasan dalam segala aspek, sehingga pada akhirnya dapat memberikan jawaban atau bantahan kepada objek dakwah secara benar dan baik serta menyenangkan perasaan.

Debat sebagai metode dakwah pada dasarnya mencari kebenaran dan kehebatan Islam. Kecuali itu, berdebat efektif dilakukan hanya kepada orang-orang yang membantah akan kebenaran Islam. Sedangkan objek dakwah yang masih  kurang percaya atau kurang mantap terhadap kebenaran Islam (tidak membantah) belum diperlukan metode debat sebagai metode dakwah. Berbeda dengan sesama ulama (intelektual) berdebat adalah rahmat. Sedangkan di kalangan masyarakat awam, berdebat hanya akan menimbulkan pertengkaran dan permusuhan.

Model metode mujadalah al-lati hiya ahsan ini meliputi dua bagian, yaitu;

1. Al-Asilah wa al-Ajwibah (tanya jawab).

Bentuk al-asilah ajwibah yang dimaksud di sini adalah suatu bentuk metode dakwah Mujadalah bi al-lati Hiya Ahsan yang digunakan dalam bentuk memberi jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan oleh umat Islam yang belum atau mereka dapati, atau belum mereka ketahui secara pasti hakikat atau penjelasannya. Dengan  kata lain metode ini berbentuk  tanya  jawab, saling tukar pikiran antara sasaran dakwah dan pelaksana dakwah.

Metode ini dilakukan dengan cara seseorang atau kelompok yang pandai berhadapan langsung dengan orang pandai lainnya. Bentuk metode ini menyatakan hal-hal yang belum diketahui sebelumnya oleh lawan pembicaraannya kepada orang yang dianggap mengetahui dan sekaligus bisa memberikan jawaban-jawaban memuaskan hatinya, sedangkan diskusi berbentuk tukar pikiran antara objek dakwah dengan subjek dakwah yang keduanya sudah sama-sama mengetahui materi yang didiskusikan.

Bentuk metode ini muncul pada masa Rasulullah, di mana para shahabat banyak yang bertanya kepada Nabi tentang berbagai masalah yang mereka hadapi, dengan harapan para shabahat dapat menerima jawaban dari Nabi. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari kalangan shahabat itu adalah pertanyaan yang benar-benar mereka tidak mengetahui sama sekali, baik dalam hukum, maupun pelaksanaannya. Masalah yang muncul itu dijawab dan diselesaikan oleh al-Qur’an secara transparan kepada Nabi Saw. Jawaban itu adakalanya dijawab dengan wahyu dan adakalanya dengan hadis, ataupun jawaban itu dijawab melalui  sikap dan tindak  tanduk nabi  sendiri.

2. Al-hiwar (dialog).

Kata Hiwâr berasal dari bahasa Arab dari akar kata (h, w, r, yuhawiru, muhawaratan) yang berarti perdebatan yang memerlukan jawaban, atau tanya jawab terkait satu objek tertentu yang mendekati kepada munaqasah dan mubahastah terhadap suatu persoalan dan peristiwa yang terjadi. Selanjutnya Muhammad Khair mengemukakan bahwa hiwar adalah seni atau metode dari beberapa metode moderen dengan mempergunakan pikiran atau beberapa objek dalam upaya menyampaikan kepada suatu kesimpulan.

Di dalam al-Qur’an persoalan-persoalan yang muncul pada Nabi adalah tanya jawab yang terjadi di kalangan umat, sekaligus ada solusi dari Allah SWT., sehingga para penanya lansung menerima keputusan atau jawaban pada saat terjadinya suatu persoalan waktu itu.

Memperhatikan ketiga metode yang dikemukakan di atas, (hikmah, maw’izhah al-hasanah dan mujadalah al-lati hiya ahsan) nampaknya hampir semua buku-buku dakwah menyorotinya pada dataran konsep atau sebagai doktrin normatif yang berasal dari al-Qur’an. Hal ini paling tidak terlihat pada metode hikmah dan mauizhah al-hasanah. Misalnya hikmah adalah suatu metode dalam menyampaikan dakwah lewat ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. 

Pada umumnya penulis ilmu dakwah lainnya hanya melihat sisi doktrin normatif saja pada ayat-ayat al-Qur’an, sehingga terlihat dengan jelas pembicaraan seputar dataran konsep, padahal sebuah metode selain berbicara teori sekaligus sebenarnya metode itu sesuatu yang bersifat aplikatif. Artinya sesuatu yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan dakwah. Begitu juga tentang metode mauizhah seolah-olah hanya juga pada tataran konsep dan normatif. Sebenarnya kedua metode di atas di satu sisi adalah dogmatis, sedangkan di sisi lain keduanya aplikatif, dan pernah diterapkan (direalisasikan) oleh Nabi Muhammad SAW melalui petunjuk al-Qur’an kepadanya, sebab tidak sesuatupun yang dilakukan oleh Nabi, melainkan berdasarkan pertunjuk Allah. Jika memang ada pendapat yang mengatakan bahwa kedua metode di atas hanya pada tataran konsep, agaknya ada benarnya, karena mereka hanya melihatnya sebagai materi dakwah, bukan sebagai metode dakwah. 

Demikian juga halnya dengan metode mujadalah al-lati hiya ahsan, tidak hanya berbicara sebatas konsep, namun al-Qur’an telah mengaplikasikannya melalui petunjuk al-Qur’an dalam melaksanakan dakwah Islam. Mujadalah hasanah itu dipahami dengan bertukar fikiran atau berdiskusi dengan baik, maka mujadalah telah bersifat aplikatif (diterapkan) sebagaimana dua metode sebelumnya (hikmah dan maw’izhah al- hasnah) dan telah dipraktekan oleh nabi Muhammad SAW dalam mengembangkan ajaran Islam kepada umat manusia. Kedua metode tersebut (hikmah dan maw’izhah  al-hasanah), dapat dibedakan. Metode hikmah lebih menekankan kepada kemampuan  fikiran dan ketajaman rasionalitas (intelektualitas) penerima dakwah, sedangkan metode mau’izah menekankan kepada ketepatan pesan yang disampaikan. Akan tetapi berbeda halnya dengan metode ketiga, mujadalat hasanah, seandainya mujadalah hasanah itu dipahami dengan bertukar pikiran atau berdiskusi dengan baik, maka ia memang sudah bersifat aplikatif dan bisa diterapkan. Nurcholish Madjid, dalam salah satu tulisannya dalam Tabloid Tekad dengan mengutip pendapat Ibn Rusyd, mengemukakan bahwa dakwah dengan hikmah artinya dakwah dengan pendekatan substansi yang mengarah kepada falsafah, dengan nasehat yang baik, yang berarti retorika efektif dan populer, dan dengan mujadalah yang lebih baik, maksudnya metode dialektis yang unggul. Indikasi ini menunjukan bahwa metode dakwah berserta modelnya pada surat al-Nahl 125, telah diaplikasikan oleh Rasulullah dalam mengajak manusia kepada Islam dalam berbagai bentuk. Model dari masing-masing metode itu merupakan bagian yang tak terpisahkan satu sama lainnya.

Demikian semoga bermamfaat.

Mengenal Metode Dakwah; Metode Maw'izhah Al-Hasanah (Part 4)

Dakwah Lapangan
2. Metode Maw’izhah Al-hasanah dan Modelnya

Kata maw’izhah adalah perubahan kata dari akar kata dasar (w, ‘a, zh); artinya memberi nasehat, memberi peringatan kepada seseorang yang bisa membawanya taubat kepada Allah Swt. dan baik perjalanannya. Ibrahim Musthafa mengemukakan dengan nasehat, peringatan dengan adanya ‘ikab, menyuruh dengan ketaatan dan berwasiat, baik melalui perkataan maupun dalam bentuk perbuatan.

‘Abdu al-Rahim mengemukakan bahwa maw’izhah ialah; Peringatan yang baik yang dengannya dapat melembutkan hati, dengan kata lain, melunakkan hati yang kesat, meneteskan  air mata  yang beku  dan memperbaiki amal yang rusak.  Pendapat ini sejalan dengan Sayyid Quthb, bahwa metode maw’izhah al-hasanah adalah dakwah yang mampu meresap kedalam hati dengan halus dan merasuk kedalam perasaan dengan lemah lembut. Tidak beresikap menghardik, memarahi dan mengancam dalam hal-hal yang tidak perlu, tidak membuka  aib atas kesalahan-kesalahan audiens, karena mereka melakukan hal itu  disebabkan tidak tahu. Sifat lemah lembut dalam penyampaikan ajaran Islam, pada umumnya mendatangkan petunjuk bagi hati yang sesat  dan menjinakan hati yang benci serta mendatangkan kebaikan.  Sedangkan A. Hasymi, menjelaskan  bahwa maw’izhah al-hasanah adalah pelajaran yang indah yang senang orang  lain  mendengarkannya, memasuki sel-sel otak dan relung-relung hati.

Realitas konsep metode dakwah maw’izhah al-hasanah tidak tertuju kepada satu kelompok orang akan tetapi juga berlaku untuk semua golongan masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengajaran yang baik bukan hanya  ditandai dengan  pemilihan materi dakwah yang  menarik  sesuai dengan tingkat kecerdasan audiens, tetapi juga ditandai dengan tindakan-tindakan atau langkah-langkah yang dapat dijadikan panutan sebagai tempat berpijak bagi  masyarakat.

Kata maw’izhah dengan segala bentuknya terulang dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali dalam berbagai ayat dan surat. Rincian ayat yang berakar dari (wau, ‘ain dan zh) dalam al-Qur’an dalam bentuk maw’izhah terdapat 9 kali, yaitu: surat al-Baqarah 66, 275 (02/87), Ali Imran 138 (03/89), al-Maidah 46, (5/112), al-’A’raf 145 (07/30), Yunus 57 (10/51), Hud 120 (11/52), al-Nahl 125(16/70), dan al-Nur : 34 (24/102).

Pengertian yang dikemukakan oleh al-Qur’an di atas dapat disimpulkan bahwa metode maw’izhah al-hasanah merupakan cerminan dengan pendekatan intruksional, yang pada umumnya ditujukan kepada masyarakat awam. Komunitas ini pada umumnya, baik tangkapan maupun daya fikirannya masih sangat sederhana, sehingga dakwah yang diberikan kepadanya dititik beratkan dalam bentuk bahasa yang relevan dengan kondisinya, bersifat intruksional dan dalam bentuk mengembirakan serta memberi informasi yang mereka jera melakukannya.

Pengertian di atas mengantarkan kepada dua kesimpulan yaitu: pertama, maw’izhah al-hasanah dikategorikan sebagai penerangan dan penyiaran ajaran Islam kepada masyarakat dengan  mempergunakan argumentasi yang mudah dan dapat memuaskan orang umum, dan kedua; mau’izahah al-hasanah dikategorikan sebagai pemberian bimbingan dan penyuluhan yang berkaitan dengan kepuasan hati dan jiwa. Bila kedua kategori ini dikembangkan, maka pemberian penerangan dan penyiaran tersebut tertuju kepada masyarakat luas tentang ajaran Islam. Dalam hal ini diperlukan terlebih dahulu mempelajari masyarakat yang dihadapi, misalnya sosiologi dakwah, antropologi dakwah, peta dakwah dan kultur (peradaban) yang dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu dibutuhkan adanya manajemen sebagai alat mempermudah menghadapi masyarakat, ilmu komunikasi massa, baik melalui media cetak, maupun media elektronik sebagai  media mempercepat jalannya dakwah kepada audiens. Sedangkan pemberian bimbingan dan penyuluhan masyarakat, nampaknya lebih tertuju kepada pribadi-pribadi yang bersifat langsung. Dalam hal ini dimungkinkan adanya pengembangan dan pencerahan masyarakat melalui pribadi tersebut.

Maw’izhah sebagai metode dakwah yaitu mengajak orang lain untuk memahami ajaran Islam dengan mempergunakan bahasa yang dapat menyentuh jiwanya melalui nasehat dan wasiat, tabsyir wa al-tanzir serta diiringi dengan panutan yang baik (uswatun hasanah). Pelaksanaannya dikembangkan dengan penerangan dan penyiaran secara umum. Sedangkan dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan, dilakukan secara  khusus terhadap para audiens (penerima dakwah) dengan face to face.

Karena bukanlah suatu metode, jika sesuatu itu dikerjakan bukan melalui tahapan dan perencanaan yang jelas. Hal ini terlihat pada ayat-ayat al-Qur’an, misalnya;

1) Dilihat dari ancaman-ancaman yang diinformasikan terhadap pelakunya seperti kera (QS. al-Baqarah; 66)

2)  Dilihat dari gejala-gejala negatif yang ditimbulkan, seperti pelaku riba ( QS al-Baqarah; 275)

3) Dilihat dari cara melaksanakannya, misalnya pelaku kisas (QS. al-Maidah; 46)

4) Dilihat dari segi prioritas melaksanakannya, yaitu mendahulukan yang terpenting dari yang penting (QS. al-A’raf; 145)

5) Dilihat dari segi kehati-hatian dalam memberikan materi, seperti melalui  targhib wa al-tarhib (QS. Yunus; 57)

6) Dilihat dari keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat (QS. Hud; 120)

7) Dilihat dari segi bahasa yang dipakai (QS. al-Nahl; 125)

8) Dilihat dari segi penjelas (bayan) (QS.  al-Nur; 34)

9) Dilihat dari segi kondisi sosial yang mengintari seperti  cara menghadapi orang kafir dan munafik (QS. al-Nisa’;63)

Memperhatikan pendapat di atas cakupan makna yang terkandung dari kalimat maw’izhah meliputi: memberikan argumentasi dengan gaya bahasa yang relevan dengan latar belakang keadaan umat, yaitu audiens dihadapi dengan argumentasi yang dapat menghantarnya kepada ajaran Islam dengan memakai bahasa lemah lembut, lugas, sejuk dan mudah merasuk kedalam jiwanya.

Term maw’izhah dalam bentuk nasehat adalah membangkitkan perasaan ketuhanan yang dikembangkan dalam jiwa objek dakwah, sehingga menimbulkan rasa takut dan ketundukan kepada Allah. Selain itu membangkitkan keteguhan hati agar senantiasa berpegang kepada pemikiran yang sehat, membangkitkan rasa persatuan untuk berpegang kepada kesatuan jama’ah. Nasehat dapat terjadi melalui berbagai sarana antara lain; melalui kematian, musibah, bencana alam, melalui sakit, melalui peringatan-peringatan lain dan sebagainya.

Namun bagaimana juapun baiknya nasehat tanpa diiringi dengan uswatun hasanah (keteladanan), maka materi dakwah yang diberikan kepada audiens akan tetap sia-sia. Keteladanan merupakan bentuk penerapan metode dakwah maw’izhah al-hasanah dengan nasehat yang paling  potensial, bahkan paling besar pengaruhnya bagi manusia untuk menarik manusia kepada kebaikan dan kebenaran. Karena bentuk ini lansung menyentuh hati dan perasaan objek dakwah ketika seseorang menyaksikan praktek nyata yang dilakukan juru dakwah. Bahkan keteladanan dapat mengubah  pandangan dakwah dari teori kepada realita yang dapat disaksikan dan dirasakan dari perkataan kepada pelaksanaan. Oleh karenanya uswatun hasanah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari metode dakwah, sebab prinsip uswah merupakan peragaan bagi suatu perbuatan. Islam bukan hanya dikembangkan lewat lisan dan tulisan, akan tetapi mendemontrasikan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat.

Bentuk metode dakwah maw’izhah al-hasanah yang diaplikasikan dalam bentuk nasehat dikembangkan melalui wasiat. Ada dua bentuk wasiat, pertama sebagai salah satu  term  hukum Islam yang mendapat perhatian serius para ulama yang ditemui dalam buku-buku fiqh. Secara terminologi wasiat adalah satu praktek pemberian cuma-cuma yang realisasinya baru berlaku setelah wafat yang  berwasiat. Sejalan dengan  itu  dapat  ditemui  dalam  sunnah  Rasulullah  SAW.  dalam sebuah hadist qudsy menceritakan firman Allah, bahwa ada dua hal yang diberikan kepada umat Muhammad yang tidak  diberikan umat sebelumnya. 
  • Allah menentukan sebahagian dari harta  seseorang  khusus  untuk seseorang  itu  ketika ia akan wafat (dengan jalan wasiat) untuk  membersihkan dirinya (dari  dosa).
  • Sebagai do’a  seorang hamba  buat  seseorang  yang telah  wafat (H.R. Abdullah bin Juneid dalam musnadnya).
Kedua cara yang dilakukan dalam  proses memberikan  perubahan  secara terus menerus dalam bentuk pelajaran memakai media lisan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.   Pengertian ini menunjukan  bahwa  wasiat termasuk  bagian dari  maw’izhah, sehingga  hal ini membuktikan secara tegas bahwa  wasiat suatu kegiatan dakwah yang dapat membersihkan diri dari dosa, sekaligus dapat memotivasi orang lain dalam upaya membersihkan hartanya, dengan tujuan memberikan kelapangan ekonomi kepada saudara-saudaranya yang sedang membutuhkan atau untuk kepentingan umum yang  diredhai  oleh Allah Swt.  

Begitu juga maw’izhah ditempuh dalam bentuk memberikan informasi kebaikan dan informasi keburukan (tabsyir wa al-tanzir), yaitu dengan memberikan khabar gembira disertakan dengan memberikan bujukan dan rayuan yang indah bahwa jika seseorang yang shaleh dan taat kepada azas kebaikan, maka ia akan mendapat tempat yang baik di akhir kehidupannya. Sebaliknya merupakan ancaman atau intimidasi melalui hukuman yang disebabkan oleh terlaksananya sebuah kesalahan, sehingga akan mendapatkan  ancaman  dari akibat perbuatannya nanti di ujung  kehidupannya.

Setelah memperhatikan ayat-ayat dan penafsiran dikalangan ilmuan, dengan pertimbangan asbab al-nuzul ayat dan makna yang dicakupinya, dapat ditarik kesimpulan bahwa model dakwah maw’izhah al-hasanah, meliputi :
  1. Menggunakan bahasa sesuai dengan bahasa umat yang dihadapi,
  2. Memberi nasehat dan wasiat secara bertahab dan berencana,
  3. Memberi khabar gembira serta memberi informasi yang membuat mereka jera melakukannya, dengan menempuh targhib wa al-tarhib 
  4. Memberikan teladan yang baik.
 (Bersambung)

Mengenal Metode Dakwah; Turunan Metode Dakwah Hikmah (Part 3)

Para Pencari Tuhan
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya (Metode Dakwah Hikmah), maka pada artikel kali ini saya akan memaparkan turunan dari Metode Dakwah Hikmah. Secara spesifik metode dakwah hikmah melahirkan model-model sebagai berikut:

1. Komparatif (Perbandingan)

Model metode dakwah hikmah dalam bentuk perbandingan (komparatif) diambil dari akar kata  Qarana, yuqarinu, muqaranan dan muqaranatan. Muqaran adalah isim masdhar dari qarana, yang berarti menghubungkan, mengumpulkan dan memperbandingkan, atau membedakan dua sesuatu dengan sesuatu yang lainnya.  Bila kata ini dipahami dari bahasa Inggris (comparative) yang berarti perbandingan. Sedangkan bila dikaitkan dengan model metode dakwah perbandingan, maka  dimaksud di sini ialah suatu cara yang ditempuh dalam menyampaikan materi dakwah didasari kepada pemberian perbandingan sesuatu dengan yang lainnya terhadap suatu objek tertentu. Karena dalam al-Qur’an cara ini lebih banyak diberlakukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw. dalam membawa orang lain kepada agama Islam di Makkah melalui ayat-ayat Makiyah dan Madinah melalui ayat-ayat Madaniyah.

Dalam kaitan ini, Allah Swt. dalam al-Qur’an menggunakannya dalam bentuk kalimat pertanyaan dengan memakai huruf istifham (hamzah).  Seperti surat al-Qalam ayat 35 (68/02).

Mode dakwah perbandingan ini muncul dalam berbagai contoh dalam al-Qur’an, yaitu orang yang mendapat cahaya dan orang yang masih berada pada kegelapan, sebagaimana terdapat dalam surat al-An’am ayat 122 ( 06/55), antara musyrik dengan ‘abid, serta orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui, sebagaimana tercermin dalam surat al-Zumar ayat 9 (39/59). Selanjutnya al-Qur’an membandingkan antara orang yang celaka dan orang-orang yang sentosa di akhirat kelak, al-Qur’an surat Fushshilat ayat 40 ( 41/61). Model dakwah komparatif dalam ayat-ayat Makkiyah, membandingkan dengan jelas antara dua kelompok yang bertolak belakang dalam kehidupan sosial masyarakat. Sedangkan pada ayat Madaniyah, menunjukkan metode yang lebih kongkrit lagi dibandingkan dengan ayat Makkiyah, yaitu membandingkan antara orang yang mengetahui tentang kebenaran (al-haq) dengan orang yang buta kepada kebenaran.

Dalam upaya mengaplikasikan metode dakwah hikmah dalam bentuk perbandingan, bukan hanya tertumpu kepada suatu pendapat, aliran, dan mazhab, akan tetapi juru dakwah mampu memberikan materi dakwah kepada masyarakat dengan memberikan perbandingan satu pendapat dengan pendapat yang lain, antara satu aliran dengan aliran lain dan antara satu mazhab dengan mazhab lainnya. Bahkan antara satu agama dengan agama lainnya. Sehingga pemahaman keagaamaan umat dalam memahami agamanya kaffah dan utuh.

2. Kisah

Kata kisah diambil dari akar bahasa Arab; (qashsha, yaqushshu, qashshashan), berarti menceritakan kabar kepadanya, atau bermakna pokok menunjukkan untuk mengikuti sesuatu yang dikisahkan.  Atau berarti dengan (menceritakan). Sedangkan dalam bahasa Indonesia qashash menjadi kisah, diartikan dengan cerita tentang kejadian (riwayat) kehidupan seseorang. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kisah diterjemahkan dengan cerita, kejadian (riwayat) sejarah dan sebagainya. Cerita tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal (peristiwa), kejadian dan sebagainya). Sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Memperhatikan pengertian di atas, nampaknya antara kisah dengan sejarah adalah identik, karena menyangkut dengan sifat fakta yang telah terjadi masa lampau.

Didalam al-Qur’an Allah Swt. menampilkan beraneka ragam kisah. Dari bentuk (shighat) yang berakar dari qasha, yaqashu dan qishashan berjumlah 30 kali dalam berbagai surat dan ayat.  Sedangkan bukan kalimat secara langsung kata yang berakar dari qassha, tetapi ayat tersebut menceritakan peristiwa tersebut secara langsung terdapat dalam al-Qur’an sebanyak 15 kali.,  Makkiyah 11 surah dan Madaniyah 4 surah.

Memperhatikan ayat-ayat yang berhubungan dengan  kisah, nampaknya al-Qur’an mengungkapkan tentang :1). Peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi dengan menyebutkan pelaku-pelaku dan tempat terjadinya. 2). Peristiwa yang telah terjadi  dan masih dapat terulang kejadiannya, 3). Peristiwa simbolis yang tidak menggambarkan suatu peristiwa yang telah terjadi  namun  dapat  saja terjadi sewaktu-waktu.

Dengan demikian kisah memberi faedah  terutama  dalam menjelaskan Islam kepada masyarakat,  seperti  diungkap oleh Hasbi Ash-Shiddiqi;

1)  Pengajaran yang  tinggi yang  menjadi  cermin  perbandingan bagi  segala  ummat. Di dalamnya kita dapati  akibat kesabaran. Sebagaimana sebaliknya kita dapati  akibat keingkaran.

2) Mengokohkan Muhammad, membuktikan kebenarannya. Muhammad adalah seorang ummy dan yang hidup dalam masyarakat yang ummy. Maka bagaimana ia dapat meriwayatkan sejarah-sejarah yang penting kalau bukan yang demikian itu dari wahyu.

3) Memberi petunjuk kepada penyeru, jalan-jalan yang harus mereka  turuti dalam melaksanakan seruan dalam menghadapi kaum-kaum yang ingkar.

4) Menerangkan betapa kesungguhan dan ketelitian ulul ‘azmi dalam  memberikan petunjuk  kepada manusia.

Pada sisi lain Masyfuk Zuhdi memberikan gambaran tentang manfaat kisah  yang  terkandung dalam al-Qur’an sebagai berikut :

1) Sebagai pelajaran bagi manusia sekarang (umat Muhammad)  tentang bagaimana nasib manusia yang ingkar  dalam melawan Allah.

2) Sebagai hiburan bagi Nabi Muhammad dan umat Islam pada permulaan Islam,  agar Nabi sahabat-sahabatnya tetap berteguh hati, tidak berkecil hati dalam menghadapi segala hambatan dan tantangan di dalam menjalankan dakwah Islamiyah /misinya.

Manna Khalil al-Qattan mengemukakan bahwa kisah merupakan metode yang digunakan bagi juru dakwah dan pendidik. Karena mereka tertarik mendengar atau membaca suatu kisah yang tanpa disadarinya mereka telah  menerima pesan berupa nasehat, petunjuk, pengajaran  dan sebagainya dari kisah tersebut. Terutama dapat membekali  audiensnya tentang peri kehidupan Nabi, berita-berita tentang umat  dahulu
Kisah yang baik dan cermat akan digemari dan akan menebus relung jiwa manusia dengan mudah. Kisah yang terdapat dalam al-Qur’an tidak membosankan dan jemu sedangkan kisah diluar al-Qur’an sering membuat para pendengar bosan mendengar atau membacanya. Kisah yang terdapat dalam al-Qur’an merupakan bahan yang subur bagi da’i dalam membantu kesuksesan dalam melaksanakan tugasnya dan membekali diri mereka dengan petunjuk para Nabi atau Rasul, berita-berita umat terdahulu dan hal ikhwal tentang bangsa-bangsa sebelumnya. Semestinya para da’i mampu menyuguhkan kisah-kisah qur’ani dengan uslub bahasa yang sesuai dengan tingkat nalar para audience. Penggunaan metode kisah dalam berdakwah memegang peranan penting, karena kisah salah satu cara untuk memusatkan perhatian para pendengar terutama dalam ceramah yang memakai waktu panjang. Dengan demikian penanaman akidah kepada pendengar yang paling utuh adalah dengan pendekatan metode kisah yang terdapat dalam al-Qur’an.

3. Amsal

Amsal diambil dari akar bahasa Arab dari akar kata masal, misal dan masil dan dalam bentuk isim, al-matsîlu, al-mitslu dan bentuk jama’nya amsâl  sama dengan syabah, syibh dan syabih.  Kata amsal dalam bahasa Indonesia dapat berarti perumpamaan atau bandingan. Sedangkan dalam ilmu sastra ialah: Suatu ungkapan yang banyak diucapkan yang dimaksudkan untuk menyamakan keadaan sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu yang akan dituju, seperti ucapan:
"Beberapa banyak panahan tidak ada pemanahnya." Maksudnya, banyak kejadian atau musibah yang terjadi tanpa sengaja.

Al-Isfahani, mengemukakan masal dapat disebut misl (perumpamaan), seperti dalam al-Qur’an juga berarti musyabbih (menyerupai). Lebih jauh al-Isfahani mengartikan masal adalah suatu ungkapan yang menggambarkan sesuatu yang lain, yang ada didalamnya titik persamaan.

Kata masal dapat digunakan untuk menunjukkan arti keadaan seperti dalam al-Qur’an surat Muhammad; 15, selanjutnya dikatakan bahwa masal menampakkan sesuatu makna yang abstrak dalam bentuk yang indrawi (mahsus) agar menjadi indah dan menarik serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa. Sementara Ibn Qayyim berpendapat, amsâl ialah menyerupakan sesuatu dengan yang lain dalam hal hukum dan mendekatkan sesuatu yang absrak (ma’qul) dengan kongkrit (mahsus). Manna al-Qatan dalam hal ini mengartikan dalam bentuk yang indah dan simpel yang mempunyai pengaruh yang mendalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih maupun dalam bentuk ungkapan bebas (mursal).

Dari Pengertian di atas dapat dipahami bahwa amsâl ialah ungkapan yang berbentuk persamaan atau penggambaran yang terdapat dalam al-Qur’an dengan gaya bahasa yang indah dan menarik dengan tujuan untuk memudahkan memahami dan meresapi tujuan dari kandungan  al-Qur’an.

Sedangkan dalam al-Qur’an faedah amsâl tersebut sangat banyak sekali antara lain :

(1). Perumpamaan yang absrak dengan bentuk kongkrit, sehingga dapat ditangkap oleh indera, seperti Firman Allah surat al-Baqarah; 264 (2/87).

(2) Memberi dorongan untuk berbuat kebajikan, seperti firman-Nya surat al-Baqarah;261  (2/87)

(3) Menjauhkan dari perbuatan yang keji, seperti firman-Nya surat  al-Hujurat;  12 (106/49) :

(4) Mengungkapkan hal yang ghaib dalam bentuk yang hadir, seperti pemakan riba yang tidak tenteram jiwanya, bagaikan orang yang kemasukan setan.

(5) Memberikan pujian, seperti pujian Allah kepada Nabi dan orang-orang mukmin, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunas, dengan tunas itu tanaman menjadi kuat, besar dan tegak dengan lurus, sehingga membuat orang-orang kafir menjadi jengkel atas kekuatan orang mukmin. Hal ini terlihat sebagai firman-Nya surat  al-Fath;  29  (48/111).

4. Aqsam (Sumpah)

Sumpah (Aqsâm) adalah bentuk jama’ (plural) dari akar kata qasama yang berarti al-hilf atau al-yamin, yaitu sumpah. Atau tidak meletakkan pada sesuatu selain pada posisinya. Bentuk kata di atas (qasama, al-hilf dan al-yamin) mempunyai tempat penggunaan yang berbeda dalam al-Qur’an. Al-hilf digunakan untuk celaan terhadap orang-orang kafir (munafik) yang melanggar sumpah dan hanya satu ayat yang ditujukan untuk orang mukmin yang membatalkan sumpah dengan membayar kafarat, sedangkan qasam pada umumnya digunakan untuk sumpah yang benar. Al-yamin yang secara harfiyah diartikan dengan tangan kanan, juga digunakan dalam makna sumpah karena sudah menjadi tradisi orang Arab apabila bersumpah kedua tangan kanannya  saling berjabatan.  Didalam al-Qur’an terdapat pemahaman yang mengacu kepada pengertian sumpah sebanyak 86 kali, bertebar dalam berbagai surat dan ayat, baik sumpah tersebut dengan memakai akar kata q, s, m, ataupun  memakai  huruf qasam, lam qasam atau jawab qasam.
Tujuan aqsâm dalam berdakwah

Dalam melaksanakan dakwah Islam kepada masyarakat yang bersumber kepada al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw. Allah Swt. telah memberi isyarat kepada Nabi agar menyesuaikan ushlub bahasa yang dipakai untuk masyarakat tertentu yang dalam ilmu ma’ani disebut adrubul khabar al-salasah atau tiga macam pola pengunaan kalimat berita, yaitu: ibtida’, talabi dan inkari.

Adakala lawan bicara (mukhatab) seorang yang berhati kosong (khaliyuz zihni) sama sekali tidak mempunyai persepsi akan pernyataan hukum yang diterangkan kepadanya, maka ungkapan yang terpakai untuk mereka tidak perlu memakai penguat. Hal ini disebut dengan ibtida’i. Selanjutnya seseorang yang didakwahi di mana mereka ragu-ragu tentang kebenaran yang disampaikan kepadanya, maka perkataan untuk orang semacam ini sebaiknya diperkuat dengan suatu penguat untuk menghilangkan keraguannya. Hal ini disebut dengan talabi. Selanjutnya boleh jadi mereka ingkar terhadap kebenaran yang diberikan kepadanya,  maka pembicaraan untuk orang yang seperti ini harus disertai  dengan penguat sesuai dengan kadar keengkarannya. Perkataan itu dinamakan dengan inkari.

Qasam merupakan salah satu penguat perkataan untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa seseorang. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia. Dalam rangka menerimanya apalagi al-Qur’an ketika dianggap sesuatu yang aneh  bagi manusia, maka mereka menerimanya dengan cara yang bermacam-macam pula, yaitu ada yang menerima, ada yang ragu-ragu dan ada pula yang mengingakrinya. Berdasarkan unsur tersebut, maka Manna al-Qatthan mengemukakan betapa pentingnya al-Qur’an membubuhkan qasam di dalamnya dalam upaya menghilangkan keraguan, menguatkan khabar dan melenyapkan kesalah pahaman mereka terhadap sesuatu sebelumnya, bahkan akan menegakkan argumentasi dan menetapkan cara yang paling sempurna. Dalam hal ini Ibn Qayyim, sebagaimana dinukil oleh Muhammad Ibn ‘Alawi mengemukan bahwa qasam (sumpah) pada prinsipnya bertujuan untuk mentahqiq dan memperjelas khabar  yang diinformasikan kepada orang lain, sehingga mereka mudah menerima sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakatnya. Hal ini bukan berarti bahwa setiap pernyataan memerlukan qasam, akan tetapi diperlukan bagi masyarakat tertentu, yaitu masyarakat yang kalau belum dengan kalimat sumpah, maka mereka tidak mau menerimanya.

Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa qasam dilihat sebagai bentuk model dakwah, berfungsi  sebagai penguat perkataan untuk memantapkan hati para audiens dan  memperkuat kebenaran di  dalam jiwanya. Hal ini dimungkinkan karena al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia. Manusia sebagai objek al-Qur’an terdapat sikap yang  bermacam-macam. Misalnya ada yang ragu-ragu, ada yang  mengingkari dan ada pula yang  memusuhinya. Dengan demikian  pemakaian qasam bagi da’i dalam menyampaikan kebenaran kepada orang lain adalah salah satu bentuk cara yang efektif guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalah-pahaman, menegakan argumentasi, menguatkan khabar dan menetapkan hukum dengan cara yang paling sempurna.

5. T a s y î r  a n (Wisata)

Kata tasyir adalah masdar dari kata kerja (fi’il) yang berpola isim (tafdhil) yaitu tsulasi mazid satu huruf yang berarti matsâ (perjalanan).  Kata tasyiran dalam bahasa Arab ditemui berakar dari  huruf  (sin, ya dan ra) yang berarti berlalu dan berjalan. Kata sairan/tasyiran dengan derivasinya terulang dalam al-Qur’an sebanyak 20 kali, tergelar dalam 18 surat, yaitu; 5 kali pada surat Makiyah dan 18 kali pada surat Madaniyah.

Memperhatikan ayat-ayat di atas dapat ditangkap pemahamannnya bahwa Allah Swt. menganjurkan kepada manusia agar melakukan perjalanan (wisata) di bumi ini, dengan tujuan dapat memperhatikan bekas peninggalan masa lalu dari suatu umat masa silam yang engkar kepada Allah dan Rasulnya. Sehingga Allah memberikan memberikan hukuman berupa malapetaka dan bencana yang ditimpakan kepadanya. Hal itu diperlihatkan Allah kepada manusia, agar dapat mempergunakan akal secara maksimal. Selain itu berwisata bukan hanya di darat, akan tetapi di laut dan di udara, bertujuan memberikan inspirasi kepada jiwa manusia, betapa besar ke-Maha-Kuasaan Allah Swt. Hal ini akan dapat membawa manusia sadar, dan meninggalkan sifat thama’ dan sombong. Bahkan lebih jauh dari itu bahwa melakukan wisata menambah wawasan, baik berupa perjalanan kerohanian, maupun wawasan intektualitas terhadap fenomena alam yang beragam dan unik.

Selain menggunakan akar kata sara, Allah SWT juga menggunakan akar kata yang semakna dengannya, yaitu akar kata (masysya, yamsyu, masysyan), yang juga berarti wisata atau berjalan.  Dalam al-Qur’an akar kata tersebut berjumlah sebanyak 22 kali,  dalam berbagai surat dan ayat. surat al-Taubat; 112 (9/113).

Pada ayat  ini terdapat kata (al-saihun). Terambil dari kata siyahah, secara populer diartikan wisata.  Pendapat yang sama diungkap oleh al-Thaba’thabai, bahwa kata al-saihun berarti tempat orang pergi berwisata yang dengannya dapat memberikan pencerahan kepada akal. Kata ini juga mengandung arti penyebaran. Pada akar kata siyahah dibentuk kata sahat, yang berati lapangan yang luas,  namun ada juga ulama yang mengartikannya dengan puasa,  akan tetapi lain halnya dengan Muhammad Jamaluddin al-Qasyimi, menjelaskan dalam tafsirnya bahwa arti siyahah adalah perjalanan wisata, karena cukup indikator yang mendukung maksud ayat tersebut. Seperti suruhan al-Qur’an agar manusia mengorbankan waktunya untuk melakukan wisata, agar ia dapat menemukan peninggalan-peninggalan sejarah masa lampau, mengetahui keabsahan berita-berita umat terdahulu, semua peristiwa yang didapati itu, kiranya dijadikan pelajaran atau ibrah. Melalui ibrah tersebut dapat mengetuk dengan keras otak-otak yang beku.

Penggunaan metode wisata sangat realitas dalam masyarakat moderen, karena secara langsung audiens dapat mengamati situasi yang asli, memberi motivasi kepada diri, mencari iklim baru dalam proses pencerahan diri. Begitu juga dapat mengembangkan, menanamkan dan mempupuk rasa cinta kepada pencipta-Nya. Selain itu metode wisata merupakan perpaduan antara pendayagunaan panca indera dan observasi. Sehingga hasil yang dicapai tidak hanya didasarkan kepada komunikasi verbal saja melainkan pemanfaatan metode-metode audio-visual secara langsung terhadap peristiwa yang pernah terjadi pada masa silam.

(Bersambung)

Mengenal Metode Dakwah; Metode Dakwah Hikmah (Part 2)

Dakwah Hikmah
1. Metode Dakwah Hikmah dan Modelnya

Kata hikmah berasal dari bahasa Arab, (h, k, m), jama’nya hikam yaitu ungkapan yang mengandung kebenaran dan mendalam. Dalam bahasa Indonesia diartikan dengan kata bijaksana. Kata bijaksana dalam bahasa Indonesia punya arti (1) selalu mempunyai akal budi, (pengalaman dan pengetahuannya): ‘arif, tajam fikiran; (2) pandai dan ingat-ingat. Sedangkan secara linguistik (lughawiyah) hikmah berarti kebijaksanaan, sehat pikiran, ilmu pengetahuan, filsafat, ke-Nabian, keadilan, peribahasa, pepatah dan al-Qur’an.  Atau mengetahui keutamaan sesuatu melalui ilmu.  Secara terminologi, para ulama memahami istilah hikmah meletakan suatu urusan pada tempatnya yang benar, mengetahui al-da’i terhadap objek dakwah  dan memilih metode serta media yang relevan dengan mereka.

Kata hikmah dengan segala bentuknya dalam al-Qur’an berjumlah 208 kali yang tersebar dalam beberapa surat. Dalam bentuk shighat masdar, kata al-hikmah 20 kali tersebar dalam beberapa surat dan ayat. Pemakaian kata terbanyak dari kata hikmah digandengkan dengan kata al-kitab, Injil, Taurat, sehingga dapat dipahami sebanding dengan kitab, Injil, Taurat, atau suatu pelajaran yang datang dari Allah Swt.

Varian hikmah  dalam pandangan ilmuan, bila  dikaitkan dengan tafsiran  surat al-Nahl; 125 sebagai kerangka dasar metode dakwah sangat beragam sekali, antara lain; al-Razi mengartikan hikmah dengan dalil-dalil yang pasti,  al-Thabari mengartikan dengan wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw., al-Maraghi mengartikan dengan Perkataan yang benar lagi tegas dengan dalil yang kuat untuk menjelaskan yang hak bagi menghilangkan syubhat. Pendapat al-Maraghi senada dengan pendapat al-Zamakhsyari dan Wahbah al-Zuhaili, sedangkan bagi al-Thaba’thabai mengartikan hikmah dengan menyampaikan kebenaran melalui ilmu dan akal. Muhammad Abduh mengartikan ilmu pengetahuan  yang benar, yakni sifat-sifat yang bijak di dalam jiwa yang menjadi penuntun kemauan dan  mengarahkannya kepada perbuatan.  Apabila perbuatan lahir dari  ilmu yang benar, maka perbuatan itu adalah perbuatan yang baik dan bermanfaat, sehingga membawa kepada kebahagiaan. Ibn Katsîr (w.774 H), mengemukakan bahwa hikmah adalah yang bijak dalam perbuatan  dan perkataan, sehingga untuk itu ia meletakan sesuatu pada tempatnya. Pendapat ini  sejalan dengan Muhammad Abu al-Fatah al-Bayânûnî, bahwa hikmah adalah teknik menempatkan sesuatu pada tempatnya, sehingga berdakwah dengan hikmah meliputi  semua aspek.

Muhammad Natsir memahami bahwa hikmah digunakan untuk semua golongan, yaitu golongan cerdik pandai, golongan awam dan golongan antara keduanya. Berbeda dengan Sayyid Qutb (966H/1558M) mengemukakan bahwa dakwah bi al-hikmah adalah memperhatikan keadaan serta tingkat kecerdasan penerima dakwah, memperhatikan kadar materi dakwah yang disampaikan kepada audiens, sehingga mereka tidak dibebani dengan materi dakwah tersebut, karena belum siap mental untuk menerimanya.

Bila beberapa pengertian di atas dikombinasikan, maka dapat dipahami bahwa metode hikmah adalah suatu cara yang dipergunakan dalam upaya membawa  orang lain kepada ajaran Islam dengan memakai argumentasi yang pasti, bahasa yang menyintuh hati dengan pendekatan ilmu dan akal. Sehingga objek dakwah yang dituju melalui metode  ini adalah para cendikiawan,  intelektual atau ilmuan. Hal ini sejalan dengan  pendapat yang dikemukan oleh ‘Abdu al-Wahab Kahili, bahwa metode dakwah dengan hikmah merupakan pengetahuan yang paling tinggi dan pengungkapan bersifat filosofis yang dapat menundukan akal dan tidak ada yang melebihi ketundukan terhadapnya.

Memperhatikan pengartian hikmah pada surat al-Nahl 125 dari beberapa pendapat ilmuan tafsir di atas, dapat ditarik asumsi-asumsi antara lain:

1) Memberdayakan akal dan ilmu secara benar dan mendalam dengan pendekatan filosofis dan rasional (hikmiyah dan aqliyah) diarahkan kepada kumunitas pemikir dan intelektual, karena golongan ini cenderung mempunyai daya tangkap yang cepat, kritis dan wawasan yang luas.

2) Memberi argumentasi yang dapat menghilangkan keraguan dan membawa kepada keyakinan, bersifat induktif, analisis, objektif, logis dan komparatif.

3)  Meletakan sesuatu pada tempatnya.

Ketiga asumsi di atas, bila dilihat dari pengertian hikmah dalam perspektif mufassir terhadap ayat 125 surat al-Nahl, nampaknya sangat signifikan dengan makna hikmah yang terdapat pada ayat-ayat yang turun di Makkah dan Madinah. Hal ini dapat dipahami dari  surat yang turun pada priode Makkah terdapat kata hikmah pada 5 surat.  Dengan demikian pengertian hikmah pada al-Nahl 125 (16/70) menjelaskan bahwa hikmah di sini adalah komunikasi yang benar dan menyentuh jiwa secara sempurna. Dengan demikian dakwah dengan metode hikmah  adalah  berdakwah melalui ilmu pengetahuan, kecakapan memilih materi dakwah yang  sesuai  dengan  kemampuan audiens,  pandai memilih bahasa sehingga audiens tidak merasa berat dalam menerima Islam, bahkan mereka laksanakan dalam  kehidupannya.

Selanjutnya kata hikmah pada surat Madaniyah dalam al-Qur’an terdapat terdapat 5 (lima) surat.  Memperhatikan kata hikmah pada surat  Madaniyah di atas  pada umumnya banyak berhubungan pengertian ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dicermati pada surat al-Baqarah ayat 129, 151, 231, dan 269 terdapat dua kali (2/87) surat Ali Imran : 48, 81, dan 164. (3/89). Hikmah pada ayat Madaniyah  di atas dirangkaikan sebagai prinsip normatif yang mengatur kehidupan manusia, dapat dicermati dari surat al-Baqarah: 269, (2/87), surat Lukman 12 (31/57) dan Bani Israil 39. (17/50). Selanjutnya hikmah yang dirangkaikan dengan kekuasaan dipahami sebagai kualifikasi pemimpin seperti terdapat pada surat al-Baqarah: 251 (2/87), surat Shad: 20. (38/38), dan surat al-Ahzab 34 (33/90), hikmah dirangkaikan sebagai peringatan-peringatan melalui kisah-kisah pada surat al-Ahzab ayat 5 (54/37) dan akhirnya hikmah berkonotasi sebagai sunnah Nabi, terlihat pada  surat al-Jumu’ah ayat 2 (62/110).

Memperhatikan pemahaman kata hikmah pada surat Makkiyah dan Madaniyah di atas dapat dipahami bahwa tuturan kata tersebut berkonotasi informasi dalam al-Qur’an, faham, akal, ketelitian  dalam pengamalan dan hukum, pengetahuan tentang Allah, petunjuk yang membawa kepada amal dan ilmu, mu’jizat dan komunikasi yang lancar serta menyentuh jiwa. Sedangkan pada pemahaman yang muncul dari kata hikmah pada surat Madaniyah adalah; sebagai ilmu nafi’ (bermanfaat) yang menerangi manusia kepada jalan Allah Swt.

Berangkat dari pemahaman di atas dalam memahami hikmah pada surat al-Nahl;125, maka para ilmuan dakwah terinspirasi mengiring pengertian tersebut  kepada pengertian metode operasional dakwah  Islam, antara lain:  Membawa  kebenaran dengan ilmu dan akal atau meletakan sesuatu pada tempatnya. Yaitu menyesuaikan kemampuan akal para mad’u (penerima dakwah) dengan kondisi dan situasi yang mengintarinya. Bila dicermati pengertian ini berarti metode hikmah adalah cara-cara membawa orang lain kepada ajaran Islam melalui ilmu dengan pendekatan filosofis, analisis, logis dan sistematis.  Pendapat  ini sejalan dengan pendapat Muhammad Abduh bahwa hikmah sebagai ilmu shahih dan ilmu nafi’,  sementara Hamka, memahami hikmah dengan ilmu, misalnya ilmu yang diberikan oleh Allah kepada Thalut dan kepada Nabi Daud, sehingga dengan ilmunya mereka dapat menjadi pemimpin untuk umatnya dengan gaya kepemimpinan yang ‘arif dan bijaksana.

Nampaknya pengertian di atas lebih lengkap, bahwa al’aql bukan hanya kesanggupan mengenal sesuatu, akan tetapi dapat membuat keputusan-keputusan tertentu berdasarkan perolehan dari sesuatu  yang telah dikenal atau diketahui. Pengertian ini sekaligus telah menjawab bahwa akal sebagai alat dalam proses mengetahui, berfikir dan bernalar. Dengan demikian secara ilmiah sasaran dakwah dengan metode hikmah adalah memberikan pencerahan kepada akal mad’u dalam menerima dan memahami ajaran Islam yang terdapat pada nash melalui empat kategori penalaran.

Pendayagunaan al-aql berdasarkan uraian tentang penalaran di atas, ada implikasi yang hendak dicapai sebagai target seruan al-Qur’an, yaitu:

(1). Al-Qur’an mentargetkan dalam seruannya untuk mempergunakan akal (al-aql) secara optimal dalam upaya mengajak orang lain, karena akal merupakan bagian penting dari manusia, yang dengannya mereka dapat mengetahui dan mengambil keputusan. Bahkan al-Qur’an memuliakan akal dan mengulang kata ini 49 kali dalam berbagai surat dan ayat.

(2) Pemakaian kata al-aql secara keseluruhan ditargetkan oleh al-Qur’an adalah mengacu pada perannya untuk mencegah  manusia dari perbuatan destruktif terhadap dirinya, karena itu al-Qur’an menyerukan untuk menfungsikan akal kepada hal-hal yang bermanfaat, terpuji dan benar. Disamping itu al-Qur’an juga menunjukkan tentang penggunaan akal secara tidak terpuji seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan orang munafik, misalnya terdapat pada surat al-Maidah 58.

Hikmah adalah merupakan suatu terma tentang metode dakwah, seakan-akan ayat tersebut berusaha menunjukkan metode dakwah praktis kepada juru dakwah yang bermaksud menunjukkan kepada manusia jalan benar yang harus mereka ikuti dan mengajak manusia sebanyak mungkin untuk menerima dan mengikuti petunjuk agama dan akidah yang benar. Atas dasar itu maka hikmah berjalan pada metode yang realitas (praktis) dalam melakukan suatu perbuatan. Artinya memperhatikan realitas yang terjadi diluar, baik pada tingkat intelektualitas, pemikiran, psikologis, sosial, budaya, politik dalam masyarakat. Semua itu diselaraskan sesuai dengan persoalan yang mengintarinya. Hal ini relevan dengan ungkapan Ali bin Abi Thalib dalam menyampaikan ajaran Islam agar berkomunikasilah dengan manusia sesuai dengan kadar akalnya.

Kata hikmah jika dikaitkan dengan kata dakwah, akan ditemukan bahwa keduanya merupakan peringatan penting kepada juru dakwah untuk tidak menggunakan satu bentuk metode saja dalam berdakwah. Sebaliknya juru dakwah menggunakan berbagai macam metode sesuai dengan realitas yang dihadapi dan  sikap masyarakat terhadap agama Islam. Sebab jika tidak demikian dakwah Islam tidak akan berhasil menjadi suatu wujud yang riil jika metode dakwah  yang dipakai untuk menghadapi orang bodoh sama dengan yang dipakai untuk menghadapi orang terpelajar dan sebaliknya. Sebahagian orang hanya memerlukan iklim dakwah yang penuh gairah dan berapi-api, semetara yang lain memerlukan iklim dakwah yang sejuk dan seimbang yang memberikan kesempatan bagi intelek untuk berfikir dan bagi batin untuk mendapatkan ketenangan. Pada sisi lain diperlukan mempresentasikan materi dakwah lewat pembahasan yang rinci, sedangkan pada kesempatan lain diperlukan menyampaikan secara garis besarnya saja, sementara rinciannya diberikan pada kesempatan mendatang.

(Bersambung)

Mengenal Metode Dakwah; The Method is Massage (Part 1)

Metode Dakwah
Ditulis oleh Mega Sufriana, MA

ABSTRAK

Dalam menyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat penting peranannya. Suatu pesan betapa baiknya, tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, pesan tersebut bisa jadi ditolak oleh penerima pesan, bahkan bisa mengaburkan maksud materi yang ingin disampaikan. Ilmuan komunikasi menyebutnya dengan the methode is massage. Sehingga kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam memilih dan memakai metode dakwah sangat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan menerapkan ajaran Islam dalam masyarakat.

I.  PENDAHULUAN

Aktifitas dakwah merupakan satu bagian yang pasti ada dalam kehidupan beragama sepanjang waktu. Di dalam al-Qur’an dakwah merupakan kewajiban yang dibebankan oleh agama kepada pemeluknya, baik dilakukan secara pribadi ataupun dilaksanakan secara kolektif. Dengan demikian eksistensi dakwah  bukan hanya sekedar usaha agar orang lain dapat memahami agama dalam kehidupannya, akan tetapi jauh lebih penting dari itu, yaitu; melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh dan konfrehenshif dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk mencapai kearah tersebut sudah pasti semua unsur dakwah harus mendapat perhatian serius para juru dakwah. Namun betapapun baiknya sebuah materi, media, audience dan da’inya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dakwah itu sendiri, jika tidak mempergunakan metode, maka ajaran Islam yang dikembangkan akan berada pada tataran pengetahuan  bukan pada aspek aplikasi dan pengamalannya.

Juru dakwah dalam upaya merealisasikan tujuan di atas, telah melakukan berbagai usaha dan pendekatan. Dalam bentuk usaha nyata adalah melalui ceramah, diskusi, bimbingan dan penyuluhan, nasehat, keteladanan, atau panutan dan lain-lainnya. Sedangkan pendekatan yang dilalui adalah pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis, komunikasi masa dan moderen, dengan berbagai teknik seperti seminar, lokakarya, simposium, sarasehan dan lain sebagainya. Nampaknya ajaran Islam belum memberikan warna kepada penganutnya secara kaffah, bahkan belum terlihat dan didapati kegiatan dakwah yang dilakukan  didasari kepada pedoman dan metode dari petunjuk al-Qur’an yang pernah di terapkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw.. baik ketika Nabi berhadapan dengan kaum kafirun Makkah maupun terhadap kaum munafiqun Madinah, ataupun kepada umat Islam secara keseluruhan.

Perspektif dakwah dalam al-Qur’an, tidak hanya sekedar mengatur kegiatan dakwah, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu al-Qur’an memberikan metode tertentu dalam menghadapi masyarakat tertentu pula. Secara umum al-Qur’an telah menuntun Nabi kearah tercapainya sosialisasi ajaran Islam dalam kurun waktu +- 23 tahun. Semua itu didukung oleh metode yang akurat, efektif dan effesien serta berpegang kepada prinsip atau azas metode yang dituturkan oleh Allah Swt. Secara leterlek didalam al-Qur’an tidak ditemukan kata yang persis sepadan dengan istilah metode, namun jika dimaksudkan metode, adalah cara-cara yang diterapkan Allah kepada Nabi Muhammad dalam menyampaikan ajaran Islam kepada keanekaragaman masyarakat dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang mengintarinya. Karena hampir semua kegiatan dakwah yang tidak mempergunakan  metode dalam melaksanakan dakwah kepada masyarakat.

II. METODE DAKWAH DALAM SURAT AL-NAHL 125 DAN MODEL-MODELNYA

Kata  metode berasal  dari  bahasa  Yunani   methodos yang berarti  cara  atau jalan . Di dalam bahasa Inggris ditulis dengan method, yaitu: 1. a way of doing anything;  mode; procedure, process; epecially, a reguler, orderly devinite procedure or way of teathing, investigating, etc.; 2. Regularity  and orderlines in action, thought,  or expresion; system  in  doing  thing or  hendling  ideas; (and)  3. Reguler, orderly arrangement. Dalam Bahasa Arab diterjemahkan dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti “cara yang teratur dan berfikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dsb); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam hal ini Hendry Van Lear, secara etimologis mengemukakan bahwa metode adalah  jalan atau cara melakukan atau membuat sesuatu dengan sistem dan melalui prosedur untuk memperoleh atau mencapai tujuan  yang dimaksud.

Pengertian metode di atas, nampaknya dapat digunakan kepada berbagai objek, baik berhubungan dengan pemikiran dan penalaran akal, atau menyangkut pekerjaan fisik. Sehigga dapat dikatakan salah satu sarana atau media yang sangat penting untuk menyembatani antara pemikiran yang dimiliki oleh subjek untuk ditransmisikan kepada objek dalam upaya mencapai tujuan yang telah  ditetapkan.

Dalam bidang keilmuan, metode selalu berarti cara prosedur dari yang diketahui menuju yang tidak diketahui, dari titik pijak tertentu menuju proposisi-proposisi akhir dalam ilmu yang ditentukan. Dalam ilmu-ilmu normatif metode mengindikasikan jalan menuju norma-norma yang mengatur perbuatan  sesuatu. Sehingga dengan  demikian metode adalah cara bertindak  menurut  sistem  aturan tertentu, supaya  kegiatan  praktis  terlaksana  secara  rasional dan terarah, agar mencapai hasil optimal. Atau sebagaimana yang diungkap Ahmad Tafsir, bahwa metode adalah cara yang paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu. Tepat dan cepat dalam hal ini ukurannya sangat varian sekali, karena sesuai dengan kondisi orang, tempat, materi, media dan sosial-budaya yang mengintarinya.

Dalam berbagai buku ilmu dakwah yang ada, ketika membahas metode dakwah, pada umumnya merujuk kepada surat al-Nahl ayat 125;
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Allahmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Allahmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Pada ayat ini bukan hanya berbicara seputar metode dakwah, akan tetapi meliputi faktor-faktor lainnya, yaitu tentang subjek, materi yang disampaikan. Bahkan secara tersirat juga terkandung objek dakwah, karena perintah dakwah dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw., maka yang disuruh panggil oleh Allah kepada Nabi adalah umat manusia, namun tidak terlihat pada ayat dimaksud  pembicaraan seputar media dakwah, tetapi hal  itu bukan mengurangi fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia. Fakhr al-Din al-Razi (544-606 H) dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat ini berisikan perintah dari Allah Swt. kepada Rasul Saw. untuk menyeru manusia (kepada Islam) dengan salah satu dari tiga cara; yaitu dengan hikmah, maw’izhah al-hasanah dan mujadalah bil al-thariq al-ihsan. Pendapat yang senada dipertegas oleh Sayyid Quthb, bahwa upaya membawa orang lain kepada Islam hanyalah melalui metode yang telah ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an.  Ketiga metode itu disesuaikan dengan kemampuan intelektual masyarakat yang dihadapi, bukan berarti masing-masing metode tertuju untuk masyarakat tertentu pula, akan tetapi secara prinsip semua metode dapat dipergunakan kepada semua lapisan masyarakat.
(Bersambung)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...