Mengenal Metode Dakwah; Metode Dakwah Hikmah (Part 2)

| 0 komentar
Dakwah Hikmah
1. Metode Dakwah Hikmah dan Modelnya

Kata hikmah berasal dari bahasa Arab, (h, k, m), jama’nya hikam yaitu ungkapan yang mengandung kebenaran dan mendalam. Dalam bahasa Indonesia diartikan dengan kata bijaksana. Kata bijaksana dalam bahasa Indonesia punya arti (1) selalu mempunyai akal budi, (pengalaman dan pengetahuannya): ‘arif, tajam fikiran; (2) pandai dan ingat-ingat. Sedangkan secara linguistik (lughawiyah) hikmah berarti kebijaksanaan, sehat pikiran, ilmu pengetahuan, filsafat, ke-Nabian, keadilan, peribahasa, pepatah dan al-Qur’an.  Atau mengetahui keutamaan sesuatu melalui ilmu.  Secara terminologi, para ulama memahami istilah hikmah meletakan suatu urusan pada tempatnya yang benar, mengetahui al-da’i terhadap objek dakwah  dan memilih metode serta media yang relevan dengan mereka.

Kata hikmah dengan segala bentuknya dalam al-Qur’an berjumlah 208 kali yang tersebar dalam beberapa surat. Dalam bentuk shighat masdar, kata al-hikmah 20 kali tersebar dalam beberapa surat dan ayat. Pemakaian kata terbanyak dari kata hikmah digandengkan dengan kata al-kitab, Injil, Taurat, sehingga dapat dipahami sebanding dengan kitab, Injil, Taurat, atau suatu pelajaran yang datang dari Allah Swt.

Varian hikmah  dalam pandangan ilmuan, bila  dikaitkan dengan tafsiran  surat al-Nahl; 125 sebagai kerangka dasar metode dakwah sangat beragam sekali, antara lain; al-Razi mengartikan hikmah dengan dalil-dalil yang pasti,  al-Thabari mengartikan dengan wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw., al-Maraghi mengartikan dengan Perkataan yang benar lagi tegas dengan dalil yang kuat untuk menjelaskan yang hak bagi menghilangkan syubhat. Pendapat al-Maraghi senada dengan pendapat al-Zamakhsyari dan Wahbah al-Zuhaili, sedangkan bagi al-Thaba’thabai mengartikan hikmah dengan menyampaikan kebenaran melalui ilmu dan akal. Muhammad Abduh mengartikan ilmu pengetahuan  yang benar, yakni sifat-sifat yang bijak di dalam jiwa yang menjadi penuntun kemauan dan  mengarahkannya kepada perbuatan.  Apabila perbuatan lahir dari  ilmu yang benar, maka perbuatan itu adalah perbuatan yang baik dan bermanfaat, sehingga membawa kepada kebahagiaan. Ibn Katsîr (w.774 H), mengemukakan bahwa hikmah adalah yang bijak dalam perbuatan  dan perkataan, sehingga untuk itu ia meletakan sesuatu pada tempatnya. Pendapat ini  sejalan dengan Muhammad Abu al-Fatah al-Bayânûnî, bahwa hikmah adalah teknik menempatkan sesuatu pada tempatnya, sehingga berdakwah dengan hikmah meliputi  semua aspek.

Muhammad Natsir memahami bahwa hikmah digunakan untuk semua golongan, yaitu golongan cerdik pandai, golongan awam dan golongan antara keduanya. Berbeda dengan Sayyid Qutb (966H/1558M) mengemukakan bahwa dakwah bi al-hikmah adalah memperhatikan keadaan serta tingkat kecerdasan penerima dakwah, memperhatikan kadar materi dakwah yang disampaikan kepada audiens, sehingga mereka tidak dibebani dengan materi dakwah tersebut, karena belum siap mental untuk menerimanya.

Bila beberapa pengertian di atas dikombinasikan, maka dapat dipahami bahwa metode hikmah adalah suatu cara yang dipergunakan dalam upaya membawa  orang lain kepada ajaran Islam dengan memakai argumentasi yang pasti, bahasa yang menyintuh hati dengan pendekatan ilmu dan akal. Sehingga objek dakwah yang dituju melalui metode  ini adalah para cendikiawan,  intelektual atau ilmuan. Hal ini sejalan dengan  pendapat yang dikemukan oleh ‘Abdu al-Wahab Kahili, bahwa metode dakwah dengan hikmah merupakan pengetahuan yang paling tinggi dan pengungkapan bersifat filosofis yang dapat menundukan akal dan tidak ada yang melebihi ketundukan terhadapnya.

Memperhatikan pengartian hikmah pada surat al-Nahl 125 dari beberapa pendapat ilmuan tafsir di atas, dapat ditarik asumsi-asumsi antara lain:

1) Memberdayakan akal dan ilmu secara benar dan mendalam dengan pendekatan filosofis dan rasional (hikmiyah dan aqliyah) diarahkan kepada kumunitas pemikir dan intelektual, karena golongan ini cenderung mempunyai daya tangkap yang cepat, kritis dan wawasan yang luas.

2) Memberi argumentasi yang dapat menghilangkan keraguan dan membawa kepada keyakinan, bersifat induktif, analisis, objektif, logis dan komparatif.

3)  Meletakan sesuatu pada tempatnya.

Ketiga asumsi di atas, bila dilihat dari pengertian hikmah dalam perspektif mufassir terhadap ayat 125 surat al-Nahl, nampaknya sangat signifikan dengan makna hikmah yang terdapat pada ayat-ayat yang turun di Makkah dan Madinah. Hal ini dapat dipahami dari  surat yang turun pada priode Makkah terdapat kata hikmah pada 5 surat.  Dengan demikian pengertian hikmah pada al-Nahl 125 (16/70) menjelaskan bahwa hikmah di sini adalah komunikasi yang benar dan menyentuh jiwa secara sempurna. Dengan demikian dakwah dengan metode hikmah  adalah  berdakwah melalui ilmu pengetahuan, kecakapan memilih materi dakwah yang  sesuai  dengan  kemampuan audiens,  pandai memilih bahasa sehingga audiens tidak merasa berat dalam menerima Islam, bahkan mereka laksanakan dalam  kehidupannya.

Selanjutnya kata hikmah pada surat Madaniyah dalam al-Qur’an terdapat terdapat 5 (lima) surat.  Memperhatikan kata hikmah pada surat  Madaniyah di atas  pada umumnya banyak berhubungan pengertian ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dicermati pada surat al-Baqarah ayat 129, 151, 231, dan 269 terdapat dua kali (2/87) surat Ali Imran : 48, 81, dan 164. (3/89). Hikmah pada ayat Madaniyah  di atas dirangkaikan sebagai prinsip normatif yang mengatur kehidupan manusia, dapat dicermati dari surat al-Baqarah: 269, (2/87), surat Lukman 12 (31/57) dan Bani Israil 39. (17/50). Selanjutnya hikmah yang dirangkaikan dengan kekuasaan dipahami sebagai kualifikasi pemimpin seperti terdapat pada surat al-Baqarah: 251 (2/87), surat Shad: 20. (38/38), dan surat al-Ahzab 34 (33/90), hikmah dirangkaikan sebagai peringatan-peringatan melalui kisah-kisah pada surat al-Ahzab ayat 5 (54/37) dan akhirnya hikmah berkonotasi sebagai sunnah Nabi, terlihat pada  surat al-Jumu’ah ayat 2 (62/110).

Memperhatikan pemahaman kata hikmah pada surat Makkiyah dan Madaniyah di atas dapat dipahami bahwa tuturan kata tersebut berkonotasi informasi dalam al-Qur’an, faham, akal, ketelitian  dalam pengamalan dan hukum, pengetahuan tentang Allah, petunjuk yang membawa kepada amal dan ilmu, mu’jizat dan komunikasi yang lancar serta menyentuh jiwa. Sedangkan pada pemahaman yang muncul dari kata hikmah pada surat Madaniyah adalah; sebagai ilmu nafi’ (bermanfaat) yang menerangi manusia kepada jalan Allah Swt.

Berangkat dari pemahaman di atas dalam memahami hikmah pada surat al-Nahl;125, maka para ilmuan dakwah terinspirasi mengiring pengertian tersebut  kepada pengertian metode operasional dakwah  Islam, antara lain:  Membawa  kebenaran dengan ilmu dan akal atau meletakan sesuatu pada tempatnya. Yaitu menyesuaikan kemampuan akal para mad’u (penerima dakwah) dengan kondisi dan situasi yang mengintarinya. Bila dicermati pengertian ini berarti metode hikmah adalah cara-cara membawa orang lain kepada ajaran Islam melalui ilmu dengan pendekatan filosofis, analisis, logis dan sistematis.  Pendapat  ini sejalan dengan pendapat Muhammad Abduh bahwa hikmah sebagai ilmu shahih dan ilmu nafi’,  sementara Hamka, memahami hikmah dengan ilmu, misalnya ilmu yang diberikan oleh Allah kepada Thalut dan kepada Nabi Daud, sehingga dengan ilmunya mereka dapat menjadi pemimpin untuk umatnya dengan gaya kepemimpinan yang ‘arif dan bijaksana.

Nampaknya pengertian di atas lebih lengkap, bahwa al’aql bukan hanya kesanggupan mengenal sesuatu, akan tetapi dapat membuat keputusan-keputusan tertentu berdasarkan perolehan dari sesuatu  yang telah dikenal atau diketahui. Pengertian ini sekaligus telah menjawab bahwa akal sebagai alat dalam proses mengetahui, berfikir dan bernalar. Dengan demikian secara ilmiah sasaran dakwah dengan metode hikmah adalah memberikan pencerahan kepada akal mad’u dalam menerima dan memahami ajaran Islam yang terdapat pada nash melalui empat kategori penalaran.

Pendayagunaan al-aql berdasarkan uraian tentang penalaran di atas, ada implikasi yang hendak dicapai sebagai target seruan al-Qur’an, yaitu:

(1). Al-Qur’an mentargetkan dalam seruannya untuk mempergunakan akal (al-aql) secara optimal dalam upaya mengajak orang lain, karena akal merupakan bagian penting dari manusia, yang dengannya mereka dapat mengetahui dan mengambil keputusan. Bahkan al-Qur’an memuliakan akal dan mengulang kata ini 49 kali dalam berbagai surat dan ayat.

(2) Pemakaian kata al-aql secara keseluruhan ditargetkan oleh al-Qur’an adalah mengacu pada perannya untuk mencegah  manusia dari perbuatan destruktif terhadap dirinya, karena itu al-Qur’an menyerukan untuk menfungsikan akal kepada hal-hal yang bermanfaat, terpuji dan benar. Disamping itu al-Qur’an juga menunjukkan tentang penggunaan akal secara tidak terpuji seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan orang munafik, misalnya terdapat pada surat al-Maidah 58.

Hikmah adalah merupakan suatu terma tentang metode dakwah, seakan-akan ayat tersebut berusaha menunjukkan metode dakwah praktis kepada juru dakwah yang bermaksud menunjukkan kepada manusia jalan benar yang harus mereka ikuti dan mengajak manusia sebanyak mungkin untuk menerima dan mengikuti petunjuk agama dan akidah yang benar. Atas dasar itu maka hikmah berjalan pada metode yang realitas (praktis) dalam melakukan suatu perbuatan. Artinya memperhatikan realitas yang terjadi diluar, baik pada tingkat intelektualitas, pemikiran, psikologis, sosial, budaya, politik dalam masyarakat. Semua itu diselaraskan sesuai dengan persoalan yang mengintarinya. Hal ini relevan dengan ungkapan Ali bin Abi Thalib dalam menyampaikan ajaran Islam agar berkomunikasilah dengan manusia sesuai dengan kadar akalnya.

Kata hikmah jika dikaitkan dengan kata dakwah, akan ditemukan bahwa keduanya merupakan peringatan penting kepada juru dakwah untuk tidak menggunakan satu bentuk metode saja dalam berdakwah. Sebaliknya juru dakwah menggunakan berbagai macam metode sesuai dengan realitas yang dihadapi dan  sikap masyarakat terhadap agama Islam. Sebab jika tidak demikian dakwah Islam tidak akan berhasil menjadi suatu wujud yang riil jika metode dakwah  yang dipakai untuk menghadapi orang bodoh sama dengan yang dipakai untuk menghadapi orang terpelajar dan sebaliknya. Sebahagian orang hanya memerlukan iklim dakwah yang penuh gairah dan berapi-api, semetara yang lain memerlukan iklim dakwah yang sejuk dan seimbang yang memberikan kesempatan bagi intelek untuk berfikir dan bagi batin untuk mendapatkan ketenangan. Pada sisi lain diperlukan mempresentasikan materi dakwah lewat pembahasan yang rinci, sedangkan pada kesempatan lain diperlukan menyampaikan secara garis besarnya saja, sementara rinciannya diberikan pada kesempatan mendatang.

(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...