2. Metode Maw’izhah Al-hasanah dan Modelnya
Kata maw’izhah adalah perubahan kata dari akar kata dasar (w, ‘a, zh); artinya memberi nasehat, memberi peringatan kepada seseorang yang bisa membawanya taubat kepada Allah Swt. dan baik perjalanannya. Ibrahim Musthafa mengemukakan dengan nasehat, peringatan dengan adanya ‘ikab, menyuruh dengan ketaatan dan berwasiat, baik melalui perkataan maupun dalam bentuk perbuatan.
‘Abdu al-Rahim mengemukakan bahwa maw’izhah ialah; Peringatan yang baik yang dengannya dapat melembutkan hati, dengan kata lain, melunakkan hati yang kesat, meneteskan air mata yang beku dan memperbaiki amal yang rusak. Pendapat ini sejalan dengan Sayyid Quthb, bahwa metode maw’izhah al-hasanah adalah dakwah yang mampu meresap kedalam hati dengan halus dan merasuk kedalam perasaan dengan lemah lembut. Tidak beresikap menghardik, memarahi dan mengancam dalam hal-hal yang tidak perlu, tidak membuka aib atas kesalahan-kesalahan audiens, karena mereka melakukan hal itu disebabkan tidak tahu. Sifat lemah lembut dalam penyampaikan ajaran Islam, pada umumnya mendatangkan petunjuk bagi hati yang sesat dan menjinakan hati yang benci serta mendatangkan kebaikan. Sedangkan A. Hasymi, menjelaskan bahwa maw’izhah al-hasanah adalah pelajaran yang indah yang senang orang lain mendengarkannya, memasuki sel-sel otak dan relung-relung hati.
Realitas konsep metode dakwah maw’izhah al-hasanah tidak tertuju kepada satu kelompok orang akan tetapi juga berlaku untuk semua golongan masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengajaran yang baik bukan hanya ditandai dengan pemilihan materi dakwah yang menarik sesuai dengan tingkat kecerdasan audiens, tetapi juga ditandai dengan tindakan-tindakan atau langkah-langkah yang dapat dijadikan panutan sebagai tempat berpijak bagi masyarakat.
Kata maw’izhah dengan segala bentuknya terulang dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali dalam berbagai ayat dan surat. Rincian ayat yang berakar dari (wau, ‘ain dan zh) dalam al-Qur’an dalam bentuk maw’izhah terdapat 9 kali, yaitu: surat al-Baqarah 66, 275 (02/87), Ali Imran 138 (03/89), al-Maidah 46, (5/112), al-’A’raf 145 (07/30), Yunus 57 (10/51), Hud 120 (11/52), al-Nahl 125(16/70), dan al-Nur : 34 (24/102).
Pengertian yang dikemukakan oleh al-Qur’an di atas dapat disimpulkan bahwa metode maw’izhah al-hasanah merupakan cerminan dengan pendekatan intruksional, yang pada umumnya ditujukan kepada masyarakat awam. Komunitas ini pada umumnya, baik tangkapan maupun daya fikirannya masih sangat sederhana, sehingga dakwah yang diberikan kepadanya dititik beratkan dalam bentuk bahasa yang relevan dengan kondisinya, bersifat intruksional dan dalam bentuk mengembirakan serta memberi informasi yang mereka jera melakukannya.
Pengertian di atas mengantarkan kepada dua kesimpulan yaitu: pertama, maw’izhah al-hasanah dikategorikan sebagai penerangan dan penyiaran ajaran Islam kepada masyarakat dengan mempergunakan argumentasi yang mudah dan dapat memuaskan orang umum, dan kedua; mau’izahah al-hasanah dikategorikan sebagai pemberian bimbingan dan penyuluhan yang berkaitan dengan kepuasan hati dan jiwa. Bila kedua kategori ini dikembangkan, maka pemberian penerangan dan penyiaran tersebut tertuju kepada masyarakat luas tentang ajaran Islam. Dalam hal ini diperlukan terlebih dahulu mempelajari masyarakat yang dihadapi, misalnya sosiologi dakwah, antropologi dakwah, peta dakwah dan kultur (peradaban) yang dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu dibutuhkan adanya manajemen sebagai alat mempermudah menghadapi masyarakat, ilmu komunikasi massa, baik melalui media cetak, maupun media elektronik sebagai media mempercepat jalannya dakwah kepada audiens. Sedangkan pemberian bimbingan dan penyuluhan masyarakat, nampaknya lebih tertuju kepada pribadi-pribadi yang bersifat langsung. Dalam hal ini dimungkinkan adanya pengembangan dan pencerahan masyarakat melalui pribadi tersebut.
Maw’izhah sebagai metode dakwah yaitu mengajak orang lain untuk memahami ajaran Islam dengan mempergunakan bahasa yang dapat menyentuh jiwanya melalui nasehat dan wasiat, tabsyir wa al-tanzir serta diiringi dengan panutan yang baik (uswatun hasanah). Pelaksanaannya dikembangkan dengan penerangan dan penyiaran secara umum. Sedangkan dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan, dilakukan secara khusus terhadap para audiens (penerima dakwah) dengan face to face.
Karena bukanlah suatu metode, jika sesuatu itu dikerjakan bukan melalui tahapan dan perencanaan yang jelas. Hal ini terlihat pada ayat-ayat al-Qur’an, misalnya;
1) Dilihat dari ancaman-ancaman yang diinformasikan terhadap pelakunya seperti kera (QS. al-Baqarah; 66)
2) Dilihat dari gejala-gejala negatif yang ditimbulkan, seperti pelaku riba ( QS al-Baqarah; 275)
3) Dilihat dari cara melaksanakannya, misalnya pelaku kisas (QS. al-Maidah; 46)
4) Dilihat dari segi prioritas melaksanakannya, yaitu mendahulukan yang terpenting dari yang penting (QS. al-A’raf; 145)
5) Dilihat dari segi kehati-hatian dalam memberikan materi, seperti melalui targhib wa al-tarhib (QS. Yunus; 57)
6) Dilihat dari keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat (QS. Hud; 120)
7) Dilihat dari segi bahasa yang dipakai (QS. al-Nahl; 125)
8) Dilihat dari segi penjelas (bayan) (QS. al-Nur; 34)
9) Dilihat dari segi kondisi sosial yang mengintari seperti cara menghadapi orang kafir dan munafik (QS. al-Nisa’;63)
Memperhatikan pendapat di atas cakupan makna yang terkandung dari kalimat maw’izhah meliputi: memberikan argumentasi dengan gaya bahasa yang relevan dengan latar belakang keadaan umat, yaitu audiens dihadapi dengan argumentasi yang dapat menghantarnya kepada ajaran Islam dengan memakai bahasa lemah lembut, lugas, sejuk dan mudah merasuk kedalam jiwanya.
Term maw’izhah dalam bentuk nasehat adalah membangkitkan perasaan ketuhanan yang dikembangkan dalam jiwa objek dakwah, sehingga menimbulkan rasa takut dan ketundukan kepada Allah. Selain itu membangkitkan keteguhan hati agar senantiasa berpegang kepada pemikiran yang sehat, membangkitkan rasa persatuan untuk berpegang kepada kesatuan jama’ah. Nasehat dapat terjadi melalui berbagai sarana antara lain; melalui kematian, musibah, bencana alam, melalui sakit, melalui peringatan-peringatan lain dan sebagainya.
Namun bagaimana juapun baiknya nasehat tanpa diiringi dengan uswatun hasanah (keteladanan), maka materi dakwah yang diberikan kepada audiens akan tetap sia-sia. Keteladanan merupakan bentuk penerapan metode dakwah maw’izhah al-hasanah dengan nasehat yang paling potensial, bahkan paling besar pengaruhnya bagi manusia untuk menarik manusia kepada kebaikan dan kebenaran. Karena bentuk ini lansung menyentuh hati dan perasaan objek dakwah ketika seseorang menyaksikan praktek nyata yang dilakukan juru dakwah. Bahkan keteladanan dapat mengubah pandangan dakwah dari teori kepada realita yang dapat disaksikan dan dirasakan dari perkataan kepada pelaksanaan. Oleh karenanya uswatun hasanah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari metode dakwah, sebab prinsip uswah merupakan peragaan bagi suatu perbuatan. Islam bukan hanya dikembangkan lewat lisan dan tulisan, akan tetapi mendemontrasikan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat.
Bentuk metode dakwah maw’izhah al-hasanah yang diaplikasikan dalam bentuk nasehat dikembangkan melalui wasiat. Ada dua bentuk wasiat, pertama sebagai salah satu term hukum Islam yang mendapat perhatian serius para ulama yang ditemui dalam buku-buku fiqh. Secara terminologi wasiat adalah satu praktek pemberian cuma-cuma yang realisasinya baru berlaku setelah wafat yang berwasiat. Sejalan dengan itu dapat ditemui dalam sunnah Rasulullah SAW. dalam sebuah hadist qudsy menceritakan firman Allah, bahwa ada dua hal yang diberikan kepada umat Muhammad yang tidak diberikan umat sebelumnya.
Kata maw’izhah adalah perubahan kata dari akar kata dasar (w, ‘a, zh); artinya memberi nasehat, memberi peringatan kepada seseorang yang bisa membawanya taubat kepada Allah Swt. dan baik perjalanannya. Ibrahim Musthafa mengemukakan dengan nasehat, peringatan dengan adanya ‘ikab, menyuruh dengan ketaatan dan berwasiat, baik melalui perkataan maupun dalam bentuk perbuatan.
‘Abdu al-Rahim mengemukakan bahwa maw’izhah ialah; Peringatan yang baik yang dengannya dapat melembutkan hati, dengan kata lain, melunakkan hati yang kesat, meneteskan air mata yang beku dan memperbaiki amal yang rusak. Pendapat ini sejalan dengan Sayyid Quthb, bahwa metode maw’izhah al-hasanah adalah dakwah yang mampu meresap kedalam hati dengan halus dan merasuk kedalam perasaan dengan lemah lembut. Tidak beresikap menghardik, memarahi dan mengancam dalam hal-hal yang tidak perlu, tidak membuka aib atas kesalahan-kesalahan audiens, karena mereka melakukan hal itu disebabkan tidak tahu. Sifat lemah lembut dalam penyampaikan ajaran Islam, pada umumnya mendatangkan petunjuk bagi hati yang sesat dan menjinakan hati yang benci serta mendatangkan kebaikan. Sedangkan A. Hasymi, menjelaskan bahwa maw’izhah al-hasanah adalah pelajaran yang indah yang senang orang lain mendengarkannya, memasuki sel-sel otak dan relung-relung hati.
Realitas konsep metode dakwah maw’izhah al-hasanah tidak tertuju kepada satu kelompok orang akan tetapi juga berlaku untuk semua golongan masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengajaran yang baik bukan hanya ditandai dengan pemilihan materi dakwah yang menarik sesuai dengan tingkat kecerdasan audiens, tetapi juga ditandai dengan tindakan-tindakan atau langkah-langkah yang dapat dijadikan panutan sebagai tempat berpijak bagi masyarakat.
Kata maw’izhah dengan segala bentuknya terulang dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali dalam berbagai ayat dan surat. Rincian ayat yang berakar dari (wau, ‘ain dan zh) dalam al-Qur’an dalam bentuk maw’izhah terdapat 9 kali, yaitu: surat al-Baqarah 66, 275 (02/87), Ali Imran 138 (03/89), al-Maidah 46, (5/112), al-’A’raf 145 (07/30), Yunus 57 (10/51), Hud 120 (11/52), al-Nahl 125(16/70), dan al-Nur : 34 (24/102).
Pengertian yang dikemukakan oleh al-Qur’an di atas dapat disimpulkan bahwa metode maw’izhah al-hasanah merupakan cerminan dengan pendekatan intruksional, yang pada umumnya ditujukan kepada masyarakat awam. Komunitas ini pada umumnya, baik tangkapan maupun daya fikirannya masih sangat sederhana, sehingga dakwah yang diberikan kepadanya dititik beratkan dalam bentuk bahasa yang relevan dengan kondisinya, bersifat intruksional dan dalam bentuk mengembirakan serta memberi informasi yang mereka jera melakukannya.
Pengertian di atas mengantarkan kepada dua kesimpulan yaitu: pertama, maw’izhah al-hasanah dikategorikan sebagai penerangan dan penyiaran ajaran Islam kepada masyarakat dengan mempergunakan argumentasi yang mudah dan dapat memuaskan orang umum, dan kedua; mau’izahah al-hasanah dikategorikan sebagai pemberian bimbingan dan penyuluhan yang berkaitan dengan kepuasan hati dan jiwa. Bila kedua kategori ini dikembangkan, maka pemberian penerangan dan penyiaran tersebut tertuju kepada masyarakat luas tentang ajaran Islam. Dalam hal ini diperlukan terlebih dahulu mempelajari masyarakat yang dihadapi, misalnya sosiologi dakwah, antropologi dakwah, peta dakwah dan kultur (peradaban) yang dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu dibutuhkan adanya manajemen sebagai alat mempermudah menghadapi masyarakat, ilmu komunikasi massa, baik melalui media cetak, maupun media elektronik sebagai media mempercepat jalannya dakwah kepada audiens. Sedangkan pemberian bimbingan dan penyuluhan masyarakat, nampaknya lebih tertuju kepada pribadi-pribadi yang bersifat langsung. Dalam hal ini dimungkinkan adanya pengembangan dan pencerahan masyarakat melalui pribadi tersebut.
Maw’izhah sebagai metode dakwah yaitu mengajak orang lain untuk memahami ajaran Islam dengan mempergunakan bahasa yang dapat menyentuh jiwanya melalui nasehat dan wasiat, tabsyir wa al-tanzir serta diiringi dengan panutan yang baik (uswatun hasanah). Pelaksanaannya dikembangkan dengan penerangan dan penyiaran secara umum. Sedangkan dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan, dilakukan secara khusus terhadap para audiens (penerima dakwah) dengan face to face.
Karena bukanlah suatu metode, jika sesuatu itu dikerjakan bukan melalui tahapan dan perencanaan yang jelas. Hal ini terlihat pada ayat-ayat al-Qur’an, misalnya;
1) Dilihat dari ancaman-ancaman yang diinformasikan terhadap pelakunya seperti kera (QS. al-Baqarah; 66)
2) Dilihat dari gejala-gejala negatif yang ditimbulkan, seperti pelaku riba ( QS al-Baqarah; 275)
3) Dilihat dari cara melaksanakannya, misalnya pelaku kisas (QS. al-Maidah; 46)
4) Dilihat dari segi prioritas melaksanakannya, yaitu mendahulukan yang terpenting dari yang penting (QS. al-A’raf; 145)
5) Dilihat dari segi kehati-hatian dalam memberikan materi, seperti melalui targhib wa al-tarhib (QS. Yunus; 57)
6) Dilihat dari keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat (QS. Hud; 120)
7) Dilihat dari segi bahasa yang dipakai (QS. al-Nahl; 125)
8) Dilihat dari segi penjelas (bayan) (QS. al-Nur; 34)
9) Dilihat dari segi kondisi sosial yang mengintari seperti cara menghadapi orang kafir dan munafik (QS. al-Nisa’;63)
Memperhatikan pendapat di atas cakupan makna yang terkandung dari kalimat maw’izhah meliputi: memberikan argumentasi dengan gaya bahasa yang relevan dengan latar belakang keadaan umat, yaitu audiens dihadapi dengan argumentasi yang dapat menghantarnya kepada ajaran Islam dengan memakai bahasa lemah lembut, lugas, sejuk dan mudah merasuk kedalam jiwanya.
Term maw’izhah dalam bentuk nasehat adalah membangkitkan perasaan ketuhanan yang dikembangkan dalam jiwa objek dakwah, sehingga menimbulkan rasa takut dan ketundukan kepada Allah. Selain itu membangkitkan keteguhan hati agar senantiasa berpegang kepada pemikiran yang sehat, membangkitkan rasa persatuan untuk berpegang kepada kesatuan jama’ah. Nasehat dapat terjadi melalui berbagai sarana antara lain; melalui kematian, musibah, bencana alam, melalui sakit, melalui peringatan-peringatan lain dan sebagainya.
Namun bagaimana juapun baiknya nasehat tanpa diiringi dengan uswatun hasanah (keteladanan), maka materi dakwah yang diberikan kepada audiens akan tetap sia-sia. Keteladanan merupakan bentuk penerapan metode dakwah maw’izhah al-hasanah dengan nasehat yang paling potensial, bahkan paling besar pengaruhnya bagi manusia untuk menarik manusia kepada kebaikan dan kebenaran. Karena bentuk ini lansung menyentuh hati dan perasaan objek dakwah ketika seseorang menyaksikan praktek nyata yang dilakukan juru dakwah. Bahkan keteladanan dapat mengubah pandangan dakwah dari teori kepada realita yang dapat disaksikan dan dirasakan dari perkataan kepada pelaksanaan. Oleh karenanya uswatun hasanah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari metode dakwah, sebab prinsip uswah merupakan peragaan bagi suatu perbuatan. Islam bukan hanya dikembangkan lewat lisan dan tulisan, akan tetapi mendemontrasikan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat.
Bentuk metode dakwah maw’izhah al-hasanah yang diaplikasikan dalam bentuk nasehat dikembangkan melalui wasiat. Ada dua bentuk wasiat, pertama sebagai salah satu term hukum Islam yang mendapat perhatian serius para ulama yang ditemui dalam buku-buku fiqh. Secara terminologi wasiat adalah satu praktek pemberian cuma-cuma yang realisasinya baru berlaku setelah wafat yang berwasiat. Sejalan dengan itu dapat ditemui dalam sunnah Rasulullah SAW. dalam sebuah hadist qudsy menceritakan firman Allah, bahwa ada dua hal yang diberikan kepada umat Muhammad yang tidak diberikan umat sebelumnya.
- Allah menentukan sebahagian dari harta seseorang khusus untuk seseorang itu ketika ia akan wafat (dengan jalan wasiat) untuk membersihkan dirinya (dari dosa).
- Sebagai do’a seorang hamba buat seseorang yang telah wafat (H.R. Abdullah bin Juneid dalam musnadnya).
Kedua cara yang dilakukan dalam proses memberikan perubahan secara
terus menerus dalam bentuk pelajaran memakai media lisan yang
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pengertian ini menunjukan
bahwa wasiat termasuk bagian dari maw’izhah, sehingga hal ini
membuktikan secara tegas bahwa wasiat suatu kegiatan dakwah yang dapat
membersihkan diri dari dosa, sekaligus dapat memotivasi orang lain
dalam upaya membersihkan hartanya, dengan tujuan memberikan kelapangan
ekonomi kepada saudara-saudaranya yang sedang membutuhkan atau untuk
kepentingan umum yang diredhai oleh Allah Swt.
Begitu juga maw’izhah ditempuh dalam bentuk memberikan informasi kebaikan dan informasi keburukan (tabsyir wa al-tanzir), yaitu dengan memberikan khabar gembira disertakan dengan memberikan bujukan dan rayuan yang indah bahwa jika seseorang yang shaleh dan taat kepada azas kebaikan, maka ia akan mendapat tempat yang baik di akhir kehidupannya. Sebaliknya merupakan ancaman atau intimidasi melalui hukuman yang disebabkan oleh terlaksananya sebuah kesalahan, sehingga akan mendapatkan ancaman dari akibat perbuatannya nanti di ujung kehidupannya.
Setelah memperhatikan ayat-ayat dan penafsiran dikalangan ilmuan, dengan pertimbangan asbab al-nuzul ayat dan makna yang dicakupinya, dapat ditarik kesimpulan bahwa model dakwah maw’izhah al-hasanah, meliputi :
Setelah memperhatikan ayat-ayat dan penafsiran dikalangan ilmuan, dengan pertimbangan asbab al-nuzul ayat dan makna yang dicakupinya, dapat ditarik kesimpulan bahwa model dakwah maw’izhah al-hasanah, meliputi :
- Menggunakan bahasa sesuai dengan bahasa umat yang dihadapi,
- Memberi nasehat dan wasiat secara bertahab dan berencana,
- Memberi khabar gembira serta memberi informasi yang membuat mereka jera melakukannya, dengan menempuh targhib wa al-tarhib
- Memberikan teladan yang baik.
0 komentar:
Posting Komentar